visitaaponce.com

Pengamat Rencana Evaluasi Penempatan Prajurit TNI di Jabatan Sipil Terlambat

Pengamat: Rencana Evaluasi Penempatan Prajurit TNI di Jabatan Sipil Terlambat
Rombongan Puspom TNI mendatangi KPK usai penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka korupsi(MI/Susanto )

PENGAMAT militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai rencana Presiden Joko Widodo bakal mengevaluasi menyeluruh penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil terlambat.

Menurutnya, polemik berulang yang merupakan residu masalah akibat belum tuntasnya sejumlah agenda reformasi hukum dan sektor keamanan.

“Ya meskipun baik, saya kira rencana evaluasi itu adalah sebuah agenda yang datangnya sedikit terlambat. Saya sendiri dalam berbagai kesempatan juga ikut menyampaikan pentingnya pemerintah mengawasi dan mengendalikan penempatan prajurit aktif di berbagai jabatan sipil yang tidak atau kurang relevan,” ungkap Khairul kepada Media Indonesia, Rabu (2/8).

Baca juga: Evaluasi Penegakan Hukum Dinilai Lebih Penting

Khairul menuturkan secara normatif dwifungsi memang sudah dihapus seiring reformasi dan berlakunya UU 34/2004 tentang TNI. Namun pada kenyataannya, praktik-praktik pelibatan TNI dalam urusan-urusan sipil memang tak sepenuhnya dapat ditiadakan. Pasalnya, ada sejumlah urusan pemerintahan yang ternyata masih memerlukan kehadiran prajurit aktif, dengan berbagai urgensi.

“Nah ini semestinya dilakukan dengan mekanisme yang ketat dan terkendali. Karena jika tak dilakukan secara hati-hati, kelenturan dalam penempatan prajurit sebagai pejabat di kementerian/lembaga pemerintah ini bisa saja membentuk persepsi negatif ketidakmampuan bahkan kegagalan sipil dan seolah hanya militerlah yang dapat diandalkan perannya,” tegasnya.

Baca juga: Komisi I Pertanyakan Rencana Jokowi Evaluasi Perwira TNI di Jabatan Sipil

Jika memperhatikan sejarah pembentukan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI khususnya Pasal 47, kata Khairul, pasal itu hadir dalam rangka memberi batasan yang jelas mengenai penempatan prajurit pada jabatan sipil.

“Ayat 1 tegas menyatakan bahwa pada dasarnya prajurit tidak boleh memegang jabatan sipil kecuali dia mengundurkan diri atau pensiun,” tutur Khairul.

“Kemudian ayat 2 memberi afirmasi. Ada sejumlah kementerian dan lembaga yang dibolehkan untuk diisi prajurit aktif. Terutama karena urusannya dinilai berkaitan, beririsan atau membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif,” paparnya.

Ayat itu, lanjut Khairul, merinci secara jelas, kementerian dan lembaga mana saja yang boleh.

Namun belakangan, karena kebutuhan dan amanat undang-undang, terbentuklah sejumlah lembaga baru, perubahan nomenklatur lembaga maupun penambahan unit kerja lembaga yang urusannya beririsan dan berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI.

Akibatnya, pasal 47 tidak lagi memadai sebagai alas hukum penempatan prajurit.

Guna mengatasi masalah, pemerintah memayungi melalui sejumlah peraturan di bawah UU. Namun, kata Khairul, itu tentu saja seharusnya hanya bersifat sementara, sehingga perubahan pasal 47 menjadi salah satu yang harus dilakukan dalam kerangka perubahan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Sayangnya, alih-alih dibatasi, kecenderungannya bahkan menguat dan melebar terutama dalam satu dekade terakhir,” paparnya.

Khairul menggarisbawahi, penempatan itu sebagian besar justru berasal dari permintaan menteri atau pimpinan lembaga yang kemudian disetujui oleh pimpinan TNI.

“Jadi bukan bermula dari keinginan TNI. Pimpinan TNI tentu saja tidak atau sulit akan menolak permintaan dan selalu antusias memberi dukungan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan,” tuturnya.

Beberapa di antara permintaan itu, memang datang dengan alasan yang cukup memadai. Namun banyak juga yang datang dengan alasan yang sebenarnya kurang relevan. Contohnya, penempatan staf khusus menteri yang berasal dari TNI, di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan nomenklatur jabatan yang menurut saya mengada-ada.

“Nah selama ini, pemerintah seolah tutup mata. Pemerintah jelas telah membiarkan praktik yang mengabaikan ketentuan undang-undang itu berlangsung di berbagai kementerian dan lembaga. Ke depan, kita berharap tidak ada aturan yang bersifat lentur dan penegakannya tidak diawasi dan dikendalikan dengan baik,” ungkapnya.

“Sekali lagi, kita harus mengapresiasi jika Presiden sudah menyadari pentingnya evaluasi dilakukan. Tentu evaluasi nantinya harus dilakukan secara komprehensif. Inventarisir permasalahannya, mana yang sesuai ketentuan dan mana yang tidak sesuai,” tambahnya. (Ykb/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat