visitaaponce.com

Wakil Ketua Komisi VIII Pertanyakan SE Menteri Agama soal Pedoman Ceramah Keagamaan

Wakil Ketua Komisi VIII Pertanyakan SE Menteri Agama soal Pedoman Ceramah Keagamaan
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas(MI/Susanto )

WAKIL Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menyebut, selama tidak adanya ajakan dari seorang penceramah kepada jamaah untuk memilih salah satu pasangan calon tertentu dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 maka Kementerian Agama tidak dapat melarang penceramah untuk menyampaikan ceramah bermuatan politik.

Hal ini diungkapkan Marwan saat menanggapi adanya Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Menteri Agama (Menag) terkait pedoman ceramah keagamaan, di mana salah satu isi dari SE tersebut adalah melarang penceramah menyampaikan ceramah yang bermuatan politik praktis.

"Kalau kita bicara agama, membicarakan agama itu gak bisa lepas dari politik. Sebaliknya, kalau kita bicara politik kita harus membicarakan agama," ucap Marwan saat dihubungi Kamis (5/10).

Baca juga: DMI Nilai SE Menag soal Pedoman Ceramah Keagamaan Perlu Dipahami dari Berbagai Sisi

"Kalau yang dimaksudkan dalam SE Menag itu kaitan dengan memilih seseorang umpamanya ‘pilih aku (dalam kontestasi pemilu)' kalau itu iya saya kira tepat. Tapi kalau di dalam ceramah agama membicarakan politik, ya mesti," ujarnya.

Menurutnya, jika SE Menteri Agama itu bermaksud untuk melarang penceramah berbicara terkait politik hal itu sangat mengherankan. Pasalnya, seluruh urusan agama yang terkait dalam Kementerian Agama (Kemenag) itu lahir di dalam proses politik.

Baca juga: Menag Diminta Jelaskan Larangan Ceramah Agama Bermuatam Politik Praktis yang Dilarang dalam SE

"Rada aneh kalau Menag melarang (penceramah) bicara politik, aneh itu. Karena urusan agama yang dijalankan oleh Menag sekarang itu adalah putusan politik. Katakan Undang-undang pesantren, itu di-golkan oleh politik. Di mana dia bisa mendapatkan keberadaan pesantren yang dilindungi sebuah Undang-Undang kalau bukan hasil politik," terangnya.

Lebuh jauh, Politikus PKB itu menilai bahwa yang lebih bahaya di tahun politik ini adalah adanya oknum-oknum tertentu yang dalam sehari-hari tidak paham agama namun menjadi seorang yang merasa paling mengerti agama.

"Yang tidak boleh di dalam politik tentang agama itu adalah oknum-oknum yang mendadak alim. Umpamanya tiba-tiba berkerudung (jelang pemilu), tiba-tiba selawatan (jelang pemilu), tiba-tiba ikut salat berjamaah (jelang pemilu) itu tidak boleh. Itu baru pencitraan namanya, itu baru namanya memanfaatkan agama untuk politik," tegas Marwan.

Selain itu, menurut Marwan bila ada pasangan calon presiden atau kontestan pada Pemilu 2024 berbicara agama baginya itu juga merupakan hal yang wajar, selama tidak ada paksaan untuk memilih.

"Begitu juga bila Politisi menyampaikan ke masyarakat atau jemaah bahwa dia punya target di bidang agama program 1, program 2, program 3. Umpamanya urusan haji 'kami akan merombak UU haji, karena pelayanan haji sudah tidak memadai lagi dengan UU itu', Politisi harus menyampaikan itu ke masyarakat, harus bicara agama," tuturnya.

"Ya mau gimana seorang capres-cawapres harus bicara program mereka kan, makannya bicara agama itu mesti bagi politisi," jelasnya

Dengan sejumlah keputusan dalam Kemenag yang lahir dari proses politik, karenanya Marwan meyakini semestinya Menag memahami situasi tersebut. Sehingga dia merasa aneh bila Menag mengeluarkan SE tersebut.

"Saya rasa Menag mengerti hal-hal seperti itu, jadi kalau larangannya mengarah pada larangan bicara politik dalam agama saya rasa itu bukan (keinginan) Menag. Itu ada buzzer itu, numpang di dia begitu," tukasnya. (Rif/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat