visitaaponce.com

Praktik Korupsi di Indonesia Marak Jaksa Agung Sebut UU Tipikor Perlu Dikaji Ulang

Praktik Korupsi di Indonesia Marak Jaksa Agung Sebut UU Tipikor Perlu Dikaji Ulang
Jaksa Agung St Burhanuddin(MI/susanto)

DI tengah derasnya praktik korupsi yang terjadi di Indonesia, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut pemerintah dan aparatur penegak hukum perlu mengkaji ulang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Burhanuddin mengatakan hakikat dari keberadaan unsur merugikan perekonomian negara merupakan salah satu excess dari tindak pidana korupsi.

Hal itu tercantum di Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga: DPR Peringatkan Intelijen Kejaksaan untuk Netral dalam Pemilu

Adapun terkait unsur perekonomian negara, tidak dapat dimaknai secara parsial dan bersifat alternatif. Hal itu karena kerugian perekonomian negara harus dipicu oleh suatu tindakan nyata yang mengakibatkan dampak signifikan terhadap negara dan masyarakat

“Penjelasan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya menggambarkan makna dari perekonomian negara secara luas, sehingga hingga saat ini definisi tersebut masih berupa konsep luas (broad concept) dan tentunya tidak aplikatif sebagai instrumen pemidanaan mengingat penormaan dalam hukum pidana harus tertulis (lex scripta), harus jelas (lex certa), serta harus dimaknai tegas tanpa adanya analogi (lex stricta),” ujar Jaksa Agung.

Menurutnya, perumusan definisi kerugian perekonomian negara seyogyanya harus dapat diatur secara khusus dalam bentuk regulasi sehingga terciptanya kepastian hukum.

Baca juga: Jaksa Agung: Pemberantasan Mafia Tanah Harus dari Hulu

Oleh karena itu, hal tersebut tentunya membuka peluang baik bagi legislator maupun bagi kita selaku aparat penegak hukum untuk mengkaji kembali eksistensi dari Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai muatan krusial di dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Hal tersebut menjadi penting sebagai anasir pembuktian penuntut umum, apakah pembuktian merugikan perekonomian negara pada Pasal 2 dan Pasal 3 ditentukan secara mandiri, ataukah unsur tersebut baru ditentukan setelah adanya nominal kerugian negara. Namun perlu diingat bahwa dalam praktiknya, tidak mungkin ada kerugian perekonomian negara tanpa adanya kerugian keuangan negara,” terangnya.

“Penerapan atau pembuktian unsur perekonomian negara adalah langkah progresif penegakan hukum dalam hal ini yaitu Kejaksaan,” tambahnya.

Burhanuddin pun memerintahkan jajaran Tindak Pidana Khusus harus mampu membuat suatu langkah taktis dan strategis guna memberikan deterrent effect bagi pelaku kejahatan, terutama dalam rangka mencari dan menemukan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak dapat dijangkau melalui instrumen hukum saat ini.

Sebagai upaya melaksanakan pemulihan kerugian negara, Burhanuddin mengaku jajarannya telah dibekali instrumen penyitaan yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak hanya itu, berdasarkan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur untuk dilakukan penyitaan harta benda terpidana oleh jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut (sita eksekusi). Pelaksanaan sita eksekusi dilakukan setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Incracht).

“Pada tahap penyidikan maupun penuntutan, penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap corpus delicti dan instrumental delicti, dikarenakan pada tahapan tersebut ketika melakukan penyitaan, penyidik maupun penuntut umum harus mampu membuktikan bahwa terdapat suatu hubungan kausal antara benda yang disita dengan perbuatan serta akibat perbuatan dari pelaku tindak pidana,” ujarnya.

Kemudian, Jaksa Agung menuturkan pengaturan pidana tambahan berupa uang pengganti merupakan salah satu upaya memberikan efek jera juga terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Intinya, Burhanuddin menganggap agar perlunya pembaharuan hukum demi terwujudnya keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Hal itu dapat diwujudkan dengan terobosan penegakan hukum yang didasari oleh sebuah penalaran yuridis normatif yang dapat dipertanggungjawabkan. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat