visitaaponce.com

Pengamat Prabowo Sasar Pemilih dengan Literasi Rendah

Pengamat: Prabowo Sasar Pemilih dengan Literasi Rendah
Pendukung TKN Pemilih Muda (Fanta) Prabowo-Gibran, di Jakarta.(Antara/Galih Pradipta)

UPAYA capres Prabowo Subianto mencitrakan diri sebagai figur yang berbeda dinilai hanya menyasar pada kelompok pemilih dengan literasi rendah dan sentimental.

Pakar budaya politik Okky Madasari mengatakan jika melihat medium yang dipakai oleh tim Prabowo adalah media sosial, terutama TikTok, kelompok yg disasar adalah anak muda. Tapi kelompok yang bermain di media sosial meskipun beragam sebenarnya merupakan kelompok yang menerima banyak informasi dan terekspos ke dunia global.

"Saya pikir branding dan rebranding Prabowo ini menyasar pada kelompok masyarakat yang memiliki literasi rendah. Ini menjelaskan mengapa branding dan rebranding Prabowo awalnya kelihatan berhasil tapi kemudian mulai redup. Kelompok yang bermain di media sosial mulai sadar karena makin banyak counter narratives yang muncul," ujarnya, Jumat (12/1).

Baca juga: Pengamat Nilai Citra Gemoy Prabowo Hanya Topeng, Aslinya Suka Emosi

Dengan demikian sangat penting untuk kelompok masyarakat sipil dan intelektual melakukan counter narratives atau narasi perlawanan. Dia mencontohkan videonya yang membahas tentang 5 mitos Jokowi dan Prabowo, adalah usaha untuk melakukan narasi perlawanan terhadap branding ‘gemoy’.

"Branding dan rebranding adalah usaha yang superfisial. Usaha mengubah image tanpa usaha mengubah substansinya sendiri. Tanpa mengubah sifat asli, branding dan rebranding akan berhasil hanya dalam jangka pendek. Karakter asli dan alami Prabowo akhirnya muncul secara spontan tanpa bisa dicegah oleh timnya dan oleh Prabowo sendiri. Kesan emosional dan arogan, misalnya kata 'goblok' atau 'ndasmu etik', akhirnya muncul menutup branding 'gemoy' yang sudah mati-matian diusahakan," paparnya.

Sementara itu Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Kacung Marijan menerangkan ‘ew branding’ yang dilakukan Prabowo sekarang pasti belajar dari pengalamannya yang sejak 2004 telah mencalonkan diri namun gagal. Lamanya proses tersebut praktis membuat publik sudah mengetahui karakter hingga harta yang dimiliki Prabowo.

Baca juga: Bawaslu Belum Terima Laporan Terkait Umpatan 'Goblok' Prabowo Subianto

"Artinya dia sudah mencalonkan diri sejak sejak lama tentu saja apa yang terkait dengan Prabowo sudah bagian dari konsumsi publik dan sudah tahu karakter dan harta karena itu terbuka. Hanya saja dalam 5 tahun terakhir ini dia dekat dengan Jokowi lalu bagian dari pemerintahan dan salah satunya menyadari yang dekat dengan Jokowi maka karakternya menjadi bagian dari itu"

Jargon 'gemoy' yang dimunculkan oleh Prabowo membuktikan dia tidak bisa mengikuti langkah Jokowi dalam mencitrakan dirinya saat ini, walaupun dia telah memantapkan menjadi keberlanjutan Jokowi.

"Dia branding keberlanjutan Jokowi. Dulu Jokowi dekonstruksi dari Susilo Bambang Yudhoyono dan berhasil. Nah Prabowo ingin melanjutkan memang tapi belum sampai pada blusukan misalnya sehingga dka mengandandalkan yang lain termasuk new branding ini," ungkapnya.

Keterlibatan Buzzer

Di sisi lain menurut Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta rebranding yang dilakukan Prabowo sah-sah saja. Publik pun yang serius mengikuti informasi tentang calon pemimpinnya tidak mudah untuk dipengaruhi dengan citra tersebut.

"Pengaruhnya ke masyarakat yang menonton televisi dan live streaming atau siaran ulang jumlahnya cukup masif sehingga tidak mudah untuk dipengaruhi tapi yang harus diwaspadai adalah peran buzzer," ucapnya.

Peran buzzer sangat mengkhawatirkan sebab publik dipengaruhi oleh buzzer yang mendengungkan tentang pembenaran program pemerintah. Dia mencontohkan pada isu putusan MK nomor 90 yang kemudian hilang begitu saja dengan isu lain.

"Peran buzzer inilah yang membunyikan isu lain. Jadi pergeseran isu di media sosial itu bukan sekadar isapan jempol saja"

Rebranding yang dilakukan Prabowo diyakini tidak berpengaruh banyak tanpa peran buzzer yang mendengungkannya. Fenomena buzzer yang fasilitas negara tersebut yang berbahaya dan harus dikritisi karena sulit untuk mendeteksi atau mengauditnya.

"Buzzer dan influencer yang dibayar negara hampir tidak bisa diaudit. Di beberapa lembaga ada yang resmi ada yang diam-diam. Itu yang harus terkontrol," tukasnya.

(Z-9)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat