Sulit untuk Makzulkan Jokowi
PAKAR Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid berpandangan isu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo hanya imajiner. Menurutnya, saat ini, pemakzulan tidak memiliki basis konstitusional kuat.
Isu pemakzulan mencuat setelah sekelompok tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mendatangi Menko Polhukam Mahfud MD, pekan lalu. Mereka mendorong dilakukan pemakzulan pada Presiden.
Mahfud menanggapi hal itu dengan menegaskan, Menko Polhukam tidak mengurusi masalah pemakzulan. Sebab, pemakzulan adalah wewenang DPR.
Baca juga: Presiden Jokowi Dimakzulkan, Nggaklah Ya
Fahri Bachmid menerangkan, pemakzulan tidak bisa sembarangan dilakukan. Pemakzulan harus memenuhi anasir-anasir absolut yang bersifat measurable yaitu terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan; tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela; maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya attainable.
"Artinya, di luar article of impeachment sebagaimana rumusan konstitusi itu, tidak cukup alasan atau dasar untuk malakukan pemakzulan," terangnya dalam keterangan resmi, Kamis (18/1).
Fahri melihat, manuver yang dilakukan Petisi 100 bersifat politis. Manuver yang mendorong pemakzulan lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilu 2024.
Baca juga: Klaim Netralitas Jokowi Semakin Jauh dari Realita
"Secara constitutional discourse, pemakzulan Presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," imbuhnya.
Dia menerangkan, pemakzulan diatur secara limitatif dalan UUD 1945, seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B. Pasal 7A berbunyi Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sedangkan Pasal 7B berbunyi usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan atau pendapat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dia melanjutkan, proses pemakzulan yang diajukan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Ketika proses telah beralih pada MK, maka MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima.
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan atau terbukti bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Langkah selanjutnya adalah MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden harus diambil dalam Rapat Paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam Rapat Paripurna MPR.
"Dengan demikian, merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan Presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum," tutup Fahri. (RO/Z-1)
Terkini Lainnya
Mahfud MD Sebut Angket Bisa Memakzulkan Presiden
Seminggu Usai Pencoblosan Isu Kecurangan Pemilu Masih Ramai Dibahas Warganet
Harapkan Pemakzulan Presiden, Ratusan Tokoh Desak DPR Segera Gulirkan Hak Angket
Interpelasi Jadi Rujukan Awal untuk Pemakzulan Jokowi
Rezim Jokowi Dinilai Abaikan Tata Kelola Yang Baik
Jokowi sudah Layak Dimakzulkan
Polda Jabar Temukan 72 Situs Judi Online
Pemberantasan Judi Online
Menko Polhukam: Implementasi Pidana Bersyarat Bisa Jadi Solusi Over Kapasitas Lapas
Ini Komentar Menkopolhukam Soal Putusan MA tentang Batas Usia Cakada
Menpolhukam Menggandeng Lengan Kapolri dan Jaksa Agung di Tengah Isu Ketegangan
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap