visitaaponce.com

Ramadan di Turki Kembalinya Ekspresi Keislaman

Ramadan di Turki: Kembalinya Ekspresi Keislaman
Lalu Muhamad Iqbal Duta Besar Indonesia untuk Turki(MI/Seno)

KESULTANAN Usmaniah dulunya ialah pusat peradaban Islam yang kekuasaannya membentang lebih dari sepertiga dunia. Pengaruhnya pun terasa hingga ke Nusantara. Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar bahkan mengatakan bahwa berdirinya Komite Hijaz yang menjadi cikal bakal NU pada 1926, salah satunya dimotivasi oleh runtuhnya 'Sang Penjaga Tradisi Ahlussunah Wal Aljamaah', yaitu Kesultanan Usmaniah.

Karena Turki pada masa kesultanan dulunya ialah pusat peradaban Islam, pastinya ada yang membayangkan suasana spesial Ramadan di Turki saat ini. Jangan lupa, sejak runtuhnya kesultanan dan berdirinya Republik Turki di 1923 hingga awal 2000-an, praktis Turki menjadi negara sekuler. Ekspresi keagamaan, khususnya Islam, selama 80 tahun terakhir dihilangkan dari pandangan publik. Kalaupun masih tersisa, tidak lagi menjadi ibadah, tetapi sekadar tradisi.

Tentu ada roti Ramazan Pide yang hanya ada di bulan Ramadan. Ada Tarawih di masjid-masjid. Beberapa masjid menyediakan takjil gratis buat jemaahnya. Di Istanbul, saat buka puasa, Masjid Biru, Hagia Sofia, dan Masjid Sultan Eyup penuh jemaah yang sebagian besar ialah wisatawan asing Islam.

Sore hari, seluruh restoran dipenuhi acara buka puasa bersama, tidak masalah yang bukber menjalankan puasa atau tidak. Uniknya ada acara sahur bersama yang di Turki merupakan barang lumrah. Mulai sekitar pukul 03.00 dan berakhir menjelang azan Subuh.

Jangan heran, di kota-kota besar, suasana Ramadan lebih tidak terasa. Mayoritas orang, khususnya kelas pekerja, tidak puasa. Di tempat-tempat keramaian, tetap saja orang-orang makan, minum, merokok layaknya bukan di bulan Ramadan. Berkunjung ke kantor-kantor masih ditawarkan minum. Tidak ada penyesuaian jam kantor seperti di Indonesia. Lagi pula, buat sebagian besar orang Turki, tidak berpuasa di bulan Ramadan bukanlah sebuah aib yang harus disembunyikan. Tak ada acara khusus Ramadan di radio dan televisi menjelang buka puasa dan sahur, kecuali di beberapa kanal khusus.

Untuk urusan ekspresi keagamaan, baik muslim maupun penganut agama lainnya, Indonesia memang sulit dicari tandingannya. DNA kita memang bangsa yang sangat religius. Kita sangat emosional dalam ekspresi keagamaan.

Meski persentase muslim di Turki mencapai 99,8% dari sekitar 84 juta penduduknya, ruang ekspresi keislaman yang lebih terbuka di Turki relatif baru. Mulai sejak awal 2000-an, dengan naiknya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang didirikan Recep Tayyib Erdogan, ke kekuasaan. Namun, 20 tahun AKP berkuasa (2002-2022) tidak cukup buat mengubah pengaruh sekulerisme yang sudah mengakar selama 80 tahun.

Setidaknya saat ini orang sudah mulai bebas berhijab, masjid-masjid bertambah dan bebas mengumandangkan azan, kanal televisi dan radio keislaman juga bebas beroperasi. Setidaknya pengalaman Ramadan di Turki lebih terasa saat ini ketimbang yang kita alami 20 tahun lalu.

Meski menganut Mazhab Hanafi, mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai Ahlussunah Wal Jamaah. Cara salat, doa, dan zikirnya nyaris sama dengan di Indonesia. Ini menjadi pelipur rindu (tombo kangen) karena saat mengikuti jemaah Tarawih di masjid, serasa seperti sedang Tarawih di kampung halaman sendiri.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat