Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono (1940-2020)
Lanskap
sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja
(1967)
Tangan Waktu
selalu terulur ia lewat jendela
yang panjang dan menakutkan
selagi engkau bekerja, atau mimpi pun
tanpa berkata suatu apa
bila saja kautanya: mau apa
berarti terlalu jauh kau sudah terbawa
sebelum sungguh menjadi sadar
bahwa sudah terlanjur terlantar
belum pernah ia minta izin
memutar jarum-jarum jam tua
yang segera tergesa-gesa saja berdetak
tanpa menoleh walau kauseru
selalu terulur ia lewat jendela
yang makin keras dalam pengalaman
mengarah padamu tambah tak tahu
memegang leher bajumu
(1959)
Sajak Desember
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur:
lewat tengah malam. Kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. Ada yang terbaring
di kursi, letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu:
taram-temaram bayang bianglala itu
(1961)
Berjalan di Belakang Jenazah
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
(1967)
Sonet: X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandangku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
(1968)
Yang fana adalah waktu. Kita abadi.
Cahaya Bertebaran
cahaya bertebaran di sekitarmu
butir-butirnya membutakan dua belah matamu
"sudah sampaikah kita?" tanyamu tiba-tiba. Lupakah
kau bahwa baru saja meninggalkan dermaga?
(1970)
Tentang Matahari
Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kauterima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
"Ini matahari! Ini matahari!" –
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu itu.
(1971)
Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
(1978)
Pada Suatu Hari Nanti
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(1991)
Maut
maut dilahirkan waktu fajar
ia hidup dari mata air
itu sebabnya ia tak pernah
mengungkapkan seluk-beluk karat
yang telah mengajarinya bertarung
melawan hidup; ia juga takkan mau
menjawab teka-teki senjakala
yang telah menahbiskannya
menjadi penjaga gerbang itu
maut mencintai fajar
dan mata air, dengan tulus
(1991)
Sumber rujukan
¹ Damono, S.D., Hujan Bulan Juni, Sepilihan Sajak 1959-1994. Penyelia naskah Mirna Yulistianti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
² Damono, S.D., DukaMu Abadi, Sajak-sajak 1967-1968. Jakarta: Pustaka Jaya, 1969.
Sapardi Djoko Damono, sastrawan, lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 dan wafat di Tangerang Selatan, Banten, 19 Juni 2020. Ia menulis puisi sejak 1957 dan menerbitkan buku puisi pertama berjudul DukaMu Abadi pada 1969. Sejumlah penghargaan pernah ia terima, antara lain SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1986), Hadiah Puisi Putera dari Malaysia (1984), Culture Award dari Australia (1978), dan penghargaan dari Akademi Jakarta (2012). Semasa hidupnya, Sapardi pernah mengajar sebagai dosen di Universitas Indonesia, Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, dan Universitas Diponegoro. Sajak-sajak di sini disajikan kembali kepada pembaca berdasarkan buku-buku yang pernah diterbitkan Sapardi. Hal ini sebagai in memoriam, suatu cara untuk mengenang kembali kiprahnya sebagai tokoh sastra dan dedikasinya yang tinggi dalam ranah perpuisian Indonesia. (SK-1)
Terkini Lainnya
Lanskap
Tangan Waktu
Sajak Desember
Berjalan di Belakang Jenazah
Sonet: X
Cahaya Bertebaran
Tentang Matahari
Yang Fana Adalah Waktu
Pada Suatu Hari Nanti
MautTotalitas Bradley Cooper Perankan Legenda Komposer Asal Amerika Serikat
Keluarga Bernstein Bela Keputusan Bradley Cooper Pakai Hidung Palsu di Film
Rekam Jejak Maestro Djoko Pekik dalam Arsip IVAA
Maestro Djoko Pekik Meninggal Dunia
Sepucuk Surat dari Yokohama untuk Remy Sylado
Sajak-sajak Remy Sylado
Khitah Negara pada Sastra Masuk Kurikulum
Masuk Kampus Unggulan berkat Puisi
Pengertian Rima dalam Puisi serta Jenis dan Contoh
10 Syair Cinta Allah Sufi Wanita Rabiah Al-Adawiyah
Sajak Cinta Allah Sufi Wanita Rabiah Al-Adawiyah Bagian II
Lima Puisi Cinta Allah Sufi Wanita Rabiah Al-Adawiyah
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap