visitaaponce.com

Hitam Putih Puisi Malaysia dan Indonesia

Hitam Putih Puisi Malaysia dan Indonesia
(Ilustrasi: Holly Anderson)

MEMBACA antologi puisi Ketika Hitam Dikatakan Putih dan Sajak Tetap Bersuara karya para pemuisi Malaysia dan Indonesia sangat mengesankan. Membawa saya untuk memahami kembali jejak-jejak kebudayaan Nusantara yang telah terjalin erat sejak berabad-abad silam.

Melalui suara hati, para pemuisi menunjukkan kebersamaan di antara kedua negara serumpun ini. Mereka menyuguhkan puisi-puisi yang penuh permenungan mendalam. Ada ikatan kultural yang dibangun melalui karya sastra. Itu tak lain sebagai pijakan bersama dalam menjalani kehidupan sebagai warga dunia.

Buku antologi puisi ini memuat karya-karya 18 penulis di mana sebagian besar sudah dikenal luas di masyarakat. Mereka terdiri dari sembilan pemuisi Indonesia dan sembilan pemuisi Malaysia. Masing-masing menyuguhkan karya yang berbeda-beda, baik tema, gaya, maupun pesan.

Kesembilan pemuisi Malaysia ialah Siti Zainon Ismail, Abdul Rahim Abdullah, Zakaria Ali, Raja Ahmad Aminullah, Abdullah Jones, Fazleena Hishamuddin, Nissa Yusof, Benz Ali, dan Mahaya Yassin. Sedangkan pemuisi Indonesia, yaitu Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Ratna Ayu Budhiarti, Rukmi Wisnu Wardani, Soni Farid Maulana (1962-2022), Bode Riswandi, Ahmadun Yosi Herfanda, Deknong Kemalawati, dan Sofyan Daud. 

Antologi puisi Ketika Hitam Dikatakan Putih dan Sajak Tetap Bersuara diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia (Jakarta) bersama Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (Kuala Lumpur). Pertama kali diterbitkan dan dicetak pada 2017 lalu berikutnya pada 2020 dan 2023. Ada sebuah benang merah bahwa puisi adalah bagian penting berkehidupan di Nusantara.

Tengok saja, puisi Cinta Nusantara 2 (hlm 25) karya Abdul. Bunyinya; Setelah berabad lama/ seksa dan sengsara ini kita tanggung/ marilah kita belajar/ mengubah segala kesilapan/ masa lalu…// Kita berlayar di laut yang sama/ kita berenang di pantai yang sama…// Karena hujan tak pernah/ melenyapkan derita/ panas pun tak menghilangkan/ bau darah dan air mata//.

Memerhatikan sepenggal puisi di atas memberikan saya sebuah pemaknaan atas konteks sosiologi dan kulturologi yang mengikat seorang pujangga dalam menuangkan gagasan. Barangkali bagi Abdul, hubungan keretakan antara sesama orang Melayu di masa lalu sejatinya harus ditanggung bersama sebagai sebuah pembelajaran.

Lewat puisinya, Abdul lihai menggunakan metafora sehingga terasa lugas dan bernas. Sekadar mengutip sepotong diksi, yaitu hujan tak pernah melenyapkan derita dan panas tak menghilangkan bau darah dan air mata. Ini sangat filosofis sekali. 

Artinya, sejarah kolonialisme, baik oleh jajahan Inggris maupun Belanda, yang pernah terjadi berabad-abad silam, tak akan terhapus begitu saja dalam ingatan kita. Abdul piawai dalam menghadirkan puisi sebagai bentuk ekspresi jiwa lewat Cinta Nusantara 2 tersebut. 

Kandungan rasa Nusantara juga kuat disajikan Ahmad. Lihat saja puisinya berjudul Anak Nusantara (hlm 55) yang padat. Tema sejarah ia suguhkan secara telanjang. Memaknai setiap lokasi bersejarah yang disinggahinya dan mengabadikan setiap hal yang ditemuinya dengan penuh penghayatan. 

Puisi ini mengambil latar belakang di Kampong Glam atau Kampung Gelam yang terletak di Singapura. Dahulunya adalah tempat singgah sementara lalu menjadi pemukiman awal orang-orang yang merantau dengan menggunakan kapal laut tradisional dari Bugis dan Jawa berabad-abad silam. 

Sepenggal puisi Anak Nusantara berbunyi: Aku menelusuri lorong-lorong Kampong Glam/ dalam siang yang kelabu dan kelam/ aku seakan menuruti lekuk sejarah// Melewati bangunan tanpa suara/ di mana pernah bersemayam/ cita dan harapan besar…// Aku bukan perindu nostalgia/ juga bukan pengejar mimpi…// Aku anak zaman yang ingin sekali/ setia pada fakta dan sejarah/ sebagai landasan kehidupan…//

Ahmad sebagai pemuisi Melayu seakan merasakan getir sejarah. Semuanya telah menghanyutkannya dalam pelawatan di Negeri Singa. Sisa kejayaan masa lampau dapat ia rasakan betul sebagai bagian yang tak terpisahkan sebagai gagasan. Sehingga ia pun menjadikan fakta dan sejarah Melayu sebagai landasan kehidupan. 

Merajut Nusantara melalui puisi

Membaca setiap puisi yang ada dalam antologi puisi Ketika Hitam Dikatakan Putih dan Sajak Tetap Bersuara memberikan pencerahan batin. Perasaan yang dihadirkan para pemuisi seakan-akan mengalir murni dan jernih di benak pembaca. 

Puisi berjudul Yang Terakhir (hlm 94) karya Nissa, misalnya, juga menjadi perhatian saya. Puisi ini dapat membuat pembaca terenyuh. Bentuk puisinya sederhana di mana terdiri dari dua bait (couplet). Bait pertama memuat empat baris sedangkan bait kedua terdiri dari tujuh baris yang padat. 

Berikut petikannya; Seperti kali terakhir/ aku mengucapkan selamat malam kepadamu/ kita membiarkan waktu pergi/ dalam dingin rindu// Kata-kata tertulis pada angin/ yang tak punya suara/ seperti itu kenangan pergi/ namun rindu terikat/ pada hati/ dan mengucapkan selamat tiba/ kepada pagi//. 

Begitulah kepiawaian Nissa. Ia jeli memaknai setiap pengalaman berharga dalam kehidupannya. Berbagai gagasan, baik pemahaman akan sejarah maupun kehidupan sehari-harinya, Nissa sajikan lewat gaya dan cara yang berbeda-beda. 

Lewat karya bersama ini, masing-masing pemuisi memiliki pandangan berbeda-beda tentang obyek yang dilihat dan dirasakan melalui mata batin secara subyektif. Faktor-faktor lain, seperti latar belakang ekonomi, pendidikan, dan status sosial tanpa disadari juga ikut masuk ke dalam karya-karya mereka. 

Karya puisi bersifat retoris sebab merepresentasikan hal-hal yang masuk akal atau dapat dipercaya. 

Sementara para penulis Indonesia, seperti Ratna, contohnya, laik disebutkan di sini. Melalui puisi Ruang Usia (hlm 166), ada semacam ikatan Nusantara yang terwakilkan dalam buku ini. Ada sebuah permenungan mendalam tentang kehidupan sehari-harinya yang sederhana dan bersahaja. 

Berikut penggalan puisi Ruang Usia; Pada ruang yang sama/ kita saling memotret dan membilang keindahan// Di ruang-ruang dengan beragam kemungkinan/ jejak langkah direkam cuaca/ dikenang atau tenggelam// Terkunci di gedung tinggi/ atau sesat di lorong tak berujung// Begitupun usia/ adakalanya tak dikira// hari ini berada, esok tiada//

Ya, kehidupan selalu memberikan misteri. Sebagaimana Ratna menyiratkan bahwa kita saling memotret dan membilang keindahan. Artinya, suatu bangunan bersejarah selalu saja menghadirkan pesona tersendiri. Namun, pada akhirnya semua akan sirna sebab terkunci di gedung tinggi. Penggunaan kata ‘ruang’ dan ‘usia’ pun menyiratkan arti dan makna tentang peradaban bangsa. 

Melalui antologi puisi Ketika Hitam Dikatakan Putih dan Sajak Tetap Bersuara, ada pesan penting yang terkandung. Ikatan tali persahabatan di antara para pemuisi Malaysia dan Indonesia sangatlah kuat. Mereka mampu memaknai sejarah dan menyajikan kisah hidup sehari-hari secara jujur. Puisi-puisi di buku ini laik dibaca dengan hati dan pikiran terbuka. 

Meminjam istilah kritikus Michael Ryan dari Southern Methodist University lewat bukunya Literary Theory: A Practical Introduction bahwa karakter, aksi, gagasan, dan perasaan dalam setiap karya adalah representasi dunia imajiner. Artinya, karya puisi bersifat retoris sebab merepresentasikan hal-hal yang masuk akal atau dapat dipercaya. 

Sayang, tema utama sebagai akar pengikat erat dalam antologi puisi Ketika Hitam Dikatakan Putih dan Sajak Tetap Bersuara belum menjadi satu keutuhan tematik. Beberapa pemuisi masih saja berfokus pada diri mereka sendiri dengan menghadirkan tema yang diliputi kesedihan, kemarahan, kecemburuan, dan kekecewaan. Semuanya menyatu padu sebagai hitam dan putih kehidupan. 

Terlepas dari itu semua, buku setebal 248 halaman ini laik diapresiasi dan dibaca oleh masyarakat umum di Tanah Air. Kehadiran antologi puisi ini penting sebagai cara untuk merajut ikatan kekerabatan di antara masyarakat sastra di Malaysia dan Indonesia melalui puisi. (SK-1)


Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Baca juga: Feminitas Abadi dalam Puisi Alexander Blok
Baca juga: Bayar Kopi dengan Puisi

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, kulturolog, dan editor puisi Media Indonesia. Ia adalah pemuisi Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Krimea, Rusia. Menjadi kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, Jakarta, 2022). Ilustrasi header: Holly Anderson, Moon on bottom before night swim (2019), cat minyak pada kanvas, 12.8 x 17.8 cm.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat