visitaaponce.com

Sejenak Bersama Suku Badui Dalam

Sejenak Bersama Suku Badui Dalam
FOTO: MI/MUHAMMAD ZEN(FOTO: MI/MUHAMMAD ZEN)

APA yang ada di benak Anda saat mendengar kata suku Badui? Sebagian orang mungkin masih membayangkannya sebagai suku arkais yang tertutup dan penuh mistis. Namun, mereka yang pernah bertandang ke permukiman suku Badui pastilah punya anggapan berbeda. Keaslian budaya dan kearifan lokal masyarakat suku Badui, terutama suku Badui Dalam, justru menjadi daya tarik tersendiri untuk ditelusuri.

Butuh lima jam perjalanan dengan kereta dari stasiun Tanah Abang (Jakarta)-Rangkas Bitung (Banten) dan perjalanan darat dengan mikrobus untuk sampai di Kampung Cijahe, Desa Kebon Cau. Kampung tersebut merupakan pembatas permukiman suku Badui Luar dengan suku Badui Dalam.

Kedatangan saya dan sejumlah peserta open trip Jalan-Jalan Outdoor, pada suatu akhir pekan medio Oktober silam itu disambut belasan pria. Mereka berikat kepala putih dengan baju khas warna senada ataupun hitam yang dilengkapi bawahan abu-abu tua. Golok pendek terselip di pinggang masing-masing.

Bersama mereka, kami melanjutkan perjalanan menuju permukiman suku Badui Dalam dengan berjalan kaki. Hamparan belukar, pohon-pohon hutan, serta ladang yang baru ditanami benih padi menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.

Jalan setapak naik turun bukit diselingi terjalnya tebing seolah menegaskan bahwa perjalanan menuju permukiman suku Badui Dalam tidaklah mudah, terutama bagi mereka yang tidak biasa bertualang menjelajah alam. Belum lagi teriknya matahari yang memayungi langkah kaki kami.

Setelah kurang lebih dua jam, udara yang sejuk segar khas wilayah pedalaman hutan perlahan mulai terasa, mengurangi keletihan akibat perjalanan di lereng pegunungan Kendeng itu. Tatapan ramah puluhan pasang mata masyarakat Badui Dalam kemudian menyambut kami di Desa Cibeo, seolah berucap, “Selamat datang!”

Sembari menyambut kami, Jaro, sebutan untuk pengurus administrasi sekaligus tabib Desa Cibeo, Ayah Mursid, memberi penjelasan mengenai suku Badui Dalam. Menurutnya, suku Badui Dalam kini menetap di tiga desa, yakni Cikeusik, Cikeurtawana, dan Cibeo.

“Setiap desa dipimpin oleh seorang Pu’un (kepala suku) yang mengatur dan mengawasi urusan adat-istiadat setempat, seperti upacara adat, perkawinan, kematian, penentuan masa panen, dan lain-lain. Sementara itu, Jaro menangani urusan dengan pihak luar seperti administrasi kependudukan misalnya,” tutur Ayah Mursid yang sempat menghadiri undangan Presiden Joko Widodo pada perayaan HUT RI di Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Saat ini, imbuhnya, jumlah penduduk suku Badui Dalam sekitar 1.400 jiwa. Jika ditambah dengan penduduk suku Badui Luar, jumlah totalnya hampir mencapai 12 ribu jiwa.

Orisinal

Kendati zaman terus bergulir, banyak kearifan lokal suku Badui Dalam maupun Badui Luar yang terus dipertahankan hingga kini. Hidup berdampingan dengan alam seolah menjadi keniscayaan. Mereka tidak menggunakan listrik, pun semua produk teknologi, seperti gawai, televisi, dan radio. Bahkan, mereka tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan. Alhasil, ke mana pun mereka pergi, harus dengan berjalan kaki. Tanpa alas kaki pula.

Kami pun bermalam di Cibeo. Di desa tersebut, kami menyaksikan langsung kehidupan tenang nan sederhana masyarakat Badui Dalam.

“Kita bisa melihat aktivitas ke­seharian masyarakat Badui Dalam seperti memasak di rumahnya, bertani, dan lain-lain. Namun, dilarang untuk mengambil foto ataupun me­rekam gambar sesuai perintah adat mereka,” jelas Cheppy Lubis, pihak penyelenggaraan open trip.
Pengunjung, sebagaimana warga Badui Dalam, juga dilarang me­ngotori alam, terutama sungai. Oleh karena itu, mandi pun tidak diperkenankan memakai sabun, sampo, maupun menggosok gigi dengan pasta gigi.

Orisinalitas tersebutlah yang menjadi salah satu daya tarik suku Badui bagi Izzat, wisatawan asal Kuala Lumpur, Malaysia. Ia bahkan sudah dua kali mengunjungi Desa Cibeo. Kali kedua, ia mengajak istrinya.

“Indonesia bersyukur masih memiliki suku-suku asli yang masih bertahan. Sulit sekali mencari tempat-tempat natural seperti ini di dunia,” ujar Izzat saat kami berbincang dalam suasana gelap di teras rumah suku Badui Dalam.

Setelah melalui malam tanpa cahaya buatan, keesokan paginya kami bersiap untuk pulang ke Ibu kota. Untuk perjalanan pulang ini, kami mengambil rute trekking yang berbeda. Tidak lagi mengarah ke Kampung Cijahe, tapi ke arah Kampung Ciboleger.
Pemanasan ringan sebagai peregangan otot-otot tubuh saya lakukan agar fit dan ‘lebih siap’ berjibaku dengan jalur yang konon lebih ekstrem dari hari sebelumnya itu.

Jalan tanah dan bebatuan yang licin, tebing curam, serta jurang yang dalam menjadi tantangan tersendiri. Bagi yang tidak biasa, bukan hanya fisik yang letih, melainkan juga mental.

Bagaimana tidak? Dengan kondisi lelah, pemandangan akan curamnya tebing dan terjalnya jalur yang harus dilewati bisa membuat peserta down, seolah ingin berteriak, “Enggak kuaaaat...!”

Enam jam berlalu, setelah sebelumnya mampir di Kampung Cakuem, tempat suku Badui Luar, sampailah kami di Terminal Ciboleger. “Capek banget, tapi saya puas. Amazing!,” ujar Didin, peserta trip dari Bekasi.

Saya pun merasakan hal serupa dengannya. Weekend getaway ini membuat tubuh saya lelah. Namun, perasaan saya amat segar setelah bersentuhan dengan kealamian hidup masyarakat Badui. Besok, saya siap bergelut lagi dengan rutinitas di Ibu Kota. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat