visitaaponce.com

Film Mudik dan Peran Perempuan dalam Tata Masyarakat

Film Mudik dan Peran Perempuan dalam Tata Masyarakat
Salah satu adegan film Mudik(Dok. Lifelike Pictures.)

MUDIK adalah fitur kedua Adriyanto Dewo setelah debutnya pada Tabula Rasa (2014). Pada film pertamanya itu, Adri menceritakan mimpi Hans yang ingin menjadi pesepak bola tapi malah berakhir jadi juru masak di warung makan Padang. Di film itu tidak menyebut 'Jakarta' secara spesifik. Tokoh Mak saat itu hanya melontarkan kata 'Jawa' saat bertanya pada Hans. Namun, jika melihat dari atribut latar tempat, ada beberapa penanda seperti grafiti suporter bola Persija Jakarta The JakMania, ketika Hans dan Mak melewati jalan. Latar di film itu, bisa jadi berada di pinggiran Jakarta, jika merujuk pada lanskap sawah, dan nomor kendaraan angkot.

Sementara dalam Mudik, film ini diintensikan sebagai road movie (film perjalanan). Jika dalam Tabula Rasa memasukkan makanan sebagai bagian dari penceritaan, Mudik meminjam perayaan dan kebiasaan tiap lebaran masyarakat di Indonesia sebagai latar belakang kisahnya.

Aida (Putri Ayudya) dan Firman (Ibnu Jamil) adalah pasangan rumah tangga yang menjadi salah satu pemudik. Cerdiknya Adri, untuk memberi tahu ada yang tidak baik-baik saja di antaranya keduanya adalah dengan bermain pada urutan penyuntingannya. Pada scene awal, ketika unsur audio diagetis hanya diisi suara penyiar radio yang melaporkan peristiwa mudik, Aida tengah mempersiapkan barang-barang bawaannya di apartemen. Ia terlihat sibuk sendiri. Lalu scene berpindah saat Aida mengendarai mobilnya sendiri. 

Pemampatan lini waktu juga berjalan baik di sini. Sehingga seperti Aida mudik sendiri. Barulah masuk Firman dalam scene selanjutnya, ketika Aida sudah tiba di rest area. Berikutnya, dialog menjelaskan yang memang diniatkan pembuat film sebagai dugaan awal kita. Pembabakan dalam film ini, bisa dikatakan 1:2:1. Dalam perjalanan sebelum Aida dan Firman mendapati insiden, adalah porsinya 1 dengan perhitungan durasi yang lebih padat. Konflik yang dimunculkan juga belum begitu intens. Hanya memberikan bibit-bibit kausalitas yang masih kecil.

Babak kedua dengan porsi yang lebih kompleks adalah dimulai dengan insiden Aida dan Firman menabrak Sugeng, suami Santi (Asmara Abigail). Dari sini juga mulai dimasukkan karakter yang mengubah perjalanan karakter dalam film. Dari insiden itu, Aida dan Firman akhirnya harus berurusan lebih lama dengan Santi dan warga kampungnya. Di sini, juga lebih terlihat lapisan konfliknya. Bukan lagi soal kapan sampai ke tujuan mudik, tetapi lebih menyoroti Aida sebagai protagonis. Interaksinya dengan Santi, boleh jadi yang paling memengaruhi perkembangan karakter Aida.

Di sini juga terlihat bagaimana perempuan ditempatkan dalam tata masyarakat. Seolah, perempuan selalu terpinggirkan . Misalnya saat di rumah sakit ketika aparat hukum mendatangi Firman-Aida. Terlihat si Polisi hanya menyalami Firman. Atau, saat rembuk di kampung Santi. Urusan soal ganti rugi kematian Sugeng hanya dibahas oleh kaum lelaki. Sementara perempuan berada di ruang luar.  

Pada adegan selanjutnya diperlihatkan ketika lelaki masih tengah berdiskusi, seorang perempuan tua hanya membereskan gelas di luar ruangan. Situasi ini dipertegas ketika Santi memutuskan untuk keluar dari kampungnya. Ramai-ramai, kaum lelaki, baik dari kerabat atau perangkat desanya, langsung membebani seabrek tanggung jawab dan aturan yang pantang ditinggalkan. Atau bahkan ketika kehadiran Santi di tengah pembahasan ganti rugi pada hari lainnya itu, langsung disambut dengan kalimat "harusnya kamu tuh enggak di sini kok Ti." Adalah suatu pernyataan tegas batasan mana yang pantas dibahas dan dikerjakan kaum lelaki, dan di mana perempuan seharusnya berada. Dari serentetan situasi perempuan di tengah tata masyarakat ini, yang juga paling kentara adalah bagaimana perempuan juga dianggap gagal sebagai perempuan, ketika mereka tidak bisa memberi anak.

Tapi, di mana keberpihakan si pembuat film dengan situasi-situasi seperti itu? Apakah karakter-karakternya dibiarkan melanggengkan sistem yang kurang ideal bagi si perempuan? Adri memilih menggerakkan alur dan perubahan karakternya pada babak berikutnya. Ketika Santi memutuskan keluar dari kampung, dan Aida yang tidak menggantungkan lagi keputusan dan konflik batinnya pada Firman.

Pada satu scene babakan akhir, Aida dan Santi kembali bertemu. Santi tidak lagi bersama Agus (Yoga Pratama), lelaki yang diajaknya keluar kampung. Scene ini juga penting untuk menandai bagaimana sikap dan keputusan Santi dari scene sebelumnya. Sementara Aida, meski ia kembali bertemu Firman, ia tetap pada arah yang dipilihnya.

Adri memang tidak memilih pengambilan gambar dengan gamblang apa yang menjadi keputusan-keputusan Aida dan Santi. Ia justru menyajikan sesuatu yang lebih reflektif dengan memberikan simbol untuk pemaknaan visual yang lebih reflektif. Ini sebenarnya juga pernah dilakukan Adri dalam Tabula Rasa-nya.

Dengan kamera yang bergerak dinamis dan didominasi handheld, membuat film Mudik juga lebih terasa hidup mengikuti perjalanan Aida-Firman. Alih-alih misalnya memilih penggunaan still shot. Atau dengan gerak yang lebih rapi, malah keputusan yang dipilih mampu memberikan pemaknaan yang lebih baik.

Satu-satunya yang jadi minus, boleh jadi adalah ketika Asmara menggunakan bahasa jawa krama, yang disampaikan dengan kurang meyakinkan ia adalah seorang yang tinggal dan besar di lingkungan tersebut. Atau, juga tokoh anak kecil yang malah berdialog menggunakan bahasa Jawa yang hilang logat Jawanya. Meski karakter lain di kampung tersebut juga berbahasa Indonesia, tetapi terdengar dialek Jawa yang tidak dipaksakan.

Tema yang dipilih Adri sebenarnya juga menarik. Naskah yang juga ditulisnya sendiri ini memilih penceritaan yang berangkat dari sorotan tragedi kecelakaan besar-besaran pada tiap mudik. Alih-alih menjadikan Mudik sebagai suatu film hangat tipikal film keluarga, Adri mencoba keluar dari pakem dengan memberikan spektrum penceritaan yang lebih gelap. Memaknai kematian menjadi bukan sekadar statistik. Ia mencoba menyelami, ada apa di balik setiap peristiwa kecelakaan mudik. Setidaknya, lewat satu kasus yang dialami Aida-Firman, juga Santi. Jika lebaran diasosiasikan menjemput hari kemenangan, maka Mudik menjadi perjalanan Aida dan Santi menuju kemenangannya dari dunia yang terlalu mengungkung mereka.  

Mudik tayang di Mola Tv mulai Jumat (28/8) ini. (M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat