visitaaponce.com

Tahun Baru

Tahun Baru
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

PEMERINTAH melarang kerumunan dan perayaan pada Tahun Baru di tempat umum. Kebijakan ini untuk mengantisipasi kenaikan kasus covid-19 pascalibur Natal dan Tahun Baru 2020-2021. Dalam Rapat Koordinasi Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang digelar secara virtual, Senin (14/12), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta implementasi pengetatan tersebut dilakukan mulai 18 Desember 2020 hingga 8 Januari 2021. Kata Luhut, kebijakan tersebut didasari adanya peningkatan kasus covid-19 yang signifikan pascalibur dan cuti bersama akhir Oktober 2020.

Saya pribadi sepakat dengan langkah tersebut. Kalau perlu, tidak usah lagi ada kepala daerah yang kegenitan memfasilitasi panggung hiburan untuk perayaan semacam itu. Itu karena pandemi covid-19 yang merebak hampir setahun ini, sudah bikin repot semuanya, terutama ekonomi dan kesehatan. Pengusaha babak belur, buruh apalagi. Angka korban penularan virus yang tiap hari dipaparkan di televisi, baik skala lokal maupun internasional, bukanlah sekadar bilangan statistik. Di dalamnya mungkin ada encing, enyak, babe, teteh, aa, atau orang-orang terdekat kita lainnya. Mengingat wabah ini belum jelas kapan berakhir, jangan-jangan kita juga tinggal menunggu giliran. Makanya, apa pula yang mesti dirayakan dari periode muram ini? Sekadar ingin merancang resolusi untuk tahun yang baru?

Manusia memang boleh berharap karena dari sanalah ia bisa tetap hidup. Harapan masuk surga, harapan naik jabatan, harapan untuk sehat dan masa depan yang lebih baik, semua sah-sah saja. Namun, kepercayaan terhadap harapan itu juga perlu nalar. Ada tahap yang perlu ditempuh agar itu semua terwujud. Bagaimana mau terbebas dari covid-19, jika sekadar untuk mengawali resolusi saja mesti menyalakan kembang api dan malah berkerumun di Bundaran HI? Lagi pula, apa masih belum sadar jika ritual semacam itu cuma ‘mitos’, yang menurut pemikir Prancis Jean Baudrillard, dikomodifikasi untuk kepentingan para cukong? Membakar uang untuk petasan dan kembang api, menghamburkan puluhan juta hanya untuk memesan table dinner, sembari ditemani para biduan menor berlenggak-lenggok menjelang malam pergantian tahun.

Cobalah sesekali merenung dan memeriksa dari mana tradisi ini bermula. Dari dulu, nenek moyang kita pemburu-pengumpul maupun dinosaurus, juga menyaksikan terbit dan tenggelamnya matahari. Sejak manusia mengenal sistem agriculture dan penanggalan saja, semuanya berubah. Ada sistem kepemilikan, kerja, upah, liburan, dan seterusnya hingga era kecerdasan buatan. Ironisnya, semua ini tidak lantas membuat segalanya jadi lebih baik. Satu hal yang yang tak terbantahkan, menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), lingkungan kini makin rusak dan suhu bumi kian panas, setidaknya jika dibandingkan dengan beberapa dekade terakhir. Secara langsung maupun tidak, semua itu akibat ulah manusia, termasuk mungkin wabah yang sedang kita hadapi ini.

Bukankah ini yang semestinya direnungi, apalagi kini kabarnya virus korona telah bermutasi menjadi lebih ganas. Lebih baik kita membantu pemerintah menekan angka penularan dengan diam di rumah daripada sekadar menghitung mundur detik menuju pergantian tahun sembari berkerumun meniup terompet dan menyulut kembang api. Selamat Tahun Baru, eh berkontemplasi!

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat