visitaaponce.com

Perlawanan Politik Identitas di Lintasan Skateboard

THOMAS dan rekan-rekannya kerap berseluncur di atas skateboard di jalanan pusat Kota Houston, Amerika Serikat. Mereka, para pemuda keturunan afro-amerika itu, ingin membongkar mitos olahraga yang kerap diidentikan dengan warga kulit putih tersebut.

"Apa yang telah kami lakukan selama bulan-bulan terakhir ini adalah sejarah yang sedang kami buat," kata skateboarder berusia 25 tahun itu kepada AFP, belum lama ini.

Thrasher, majalah skateboard terkenal pada edisi September 2020 lalu, juga menampilkan 32 skater berkulit hitam di sampul depan dan belakangnya. Uniknya, di bagian depan tidak ada kalimat apapun alias tanpa judul. Mereka seperti sengaja agar foto yang berbicara dan pesannya jelas: komunitas skateboard harus ‘berwarna’.

"Saya mendengar itu seribu kali, terutama dari mereka yang belum pernah berada di lintasan skate, bahwa (olahraga) ini adalah milik orang kulit putih," kata Thomas.

"Orang-orang sering mengatakan agar saya sebaiknya bermain bola basket, sebuah olahraga yang secara stereotip diasosiasikan dengan atlet kulit hitam,” kata Miles, rekan Thomas.

Asal-usul skateboard awalnya dipopulerkan para peselancar di California dan Hawaii pada dekade 1940-an dan 1950-an. Ketika tidak ada ombak, mereka kemudian beralih berselancar di trotoar dengan memodifikasi bilah papan luncur mereka yang dilengkapi roda.

Popularitas olahraga ini kemudian menyebar ke seluruh negara bagian dan berkat tentara Amerika yang ditempatkan di Jerman, skateboard kemudian menyebar ke penjuru dunia. Akan tetapi, olahraga ini terlanjur dikaitkan dengan citra remaja kulit putih dan budaya punk.

“Namun skater kulit berwarna selalu ada," kata Neftalie Williams, pakar skateboard di University of Southern California (USC). Dia mengatakan kesalahan persepsi yang menyebut olahraga ini identik degan kulit putih ini lantaran kurangnya representasi dan kesalahan media dalam memberitakannya. Selain media, kata Williams, kalangan akademisi juga berperan membangun persepsi ini.

"Kami ingin ada orang yang membantu membawa skateboard ke Olimpiade dan menjadikannya fenomena global seperti sekarang," katanya.

Meletusnya gerakan Black Lives Matter tahun lalu telah mendorong perlawanan dominasi kulit putih di Amerika, termasuk lewat skateboard. Thrasher bukan satu-satunya majalah yang ikut gerakan perlawanan ini. Pada Desember lalu, majalah skate Inggris Skateism memuat sembilan skater kulit berwarna, mulai dari Afrika Selatan hingga Brasil. "Setelah menyaksikan gerakan protes Black Live Matter, kami merasa harus melakukan sesuatu," tulis majalah itu dalam tajuk rencananya.

Namun, Dallis Thompson, seorang skater kulit hitam mengaku tidak terkesan dengan yang dilakukan majalah Trasher. "Begitu banyak orang yang diremehkan dalam dunia olahraga kami. Mengapa memilih 32 di antaranya karena warna kulitnya?"

Namun Williams, yang juga ikut menulis studi tentang pengaruh etnis, jenis kelamin, dan latar belakang budaya para skater, bersikeras bahwa aspek identitas mereka harus dipertimbangkan.

“Penting untuk diketahui, beberapa (skater) memiliki cerita yang berbeda, mereka masih berurusan dengan rasisme sistemik di dunia," kata Williams. (AFP/M-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat