visitaaponce.com

Kembalinya Rumah Pencinta Sinema Ibukota

Setelah dua tahun bersafari, kini bioskop alternatif di bawah naungan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Kineforum, punya rumahnya lagi. Dengan kapasitas lebih besar. 

Setidaknya, sejak awal 2020, pemutaran film yang dilakukan Kineforum tidak lagi ngendon di gedung kecil yang nyempil di belakang Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Layar Kineforum berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mulai dari Fotkop di Cipete, Paviliun 28 saat masih di Petogogan, hingga beralih ke virtual.

 

Musababnya adalah proyek revitalisasi Pusat Kebudayaan Jakarta (PKJ) TIM. Proyek itu merombak hampir seluruh wajah TIM. Kineforum termasuk di dalamnya. 

 

Namun, kini, setelah hidup nomad hampir dua tahun, bioskop alternatif itu bisa menghela napas. Ruang mereka kembali seiring dibukanya TIM versi transformasi. 

Kini, Kineforum menempati gedung Planetarium, di lantai empat. Dulu nyempil di belakang, kini dimajukan letaknya. Ruangnya pun mampu mengakomodasi publik lebih banyak. 

Saat masih di belakang Galeri Cipta III, maksimal cuma menampung 45 kursi. Sekarang, dengan dua studio, Teater Sjuman Djaya dan Teater Asrul Sani, Kineforum bisa menampung 140 penonton. Tentu ini jadi hal menggembirakan bagi keberlangsungan layar-layar alternatif di luar jaringan bioskop komersial.

Sejak kemunculannya pada medio 2006, Kineforum menjadi ruang distribusi pengetahuan, sekaligus tempat bagi film-film yang kurang mendapat akses di layar besar.

“Kapasitas yang lebih besar saat ini, tentu akan lebih bisa membuka ruang percakapan yang lebih banyak. Dan bisa berkontribusi bagi ekosistem perfilman Indonesia. Bukan saja ruang putar fisik, tetapi dengan program-program yang disusun Kineforum, juga menjadi ruang bertemunya lintas disiplin dan latar belakang,” kata Ketua Komite Film DKJ Ekky Imanjaya kepada Media Indonesia saat dijumpai seusai pemutaran film Usia 18 karya Teguh Karya dalam rangkaian pembukaan kembali Kineforum, Jumat, (23/9).

Untuk merayakan pembukaannya, sepanjang akhir pekan lalu, bioskop tersebut menyuguhkan program Generasional. Mereka memutarkan film-film panjang klasik (Usia 18, Suci Sang Primadona), film dokumenter panjang (Invisible Hopes), dan film-film pendek (Lika Liku Laki, Kisah Cinta dari Barat, Laut Memanggilku, serta Boncengan).

“Program ini ingin melihat situasi sekarang. Sepertinya kita adalah generasi yang harus siap menghadapi apa pun ke depannya. Berangkat dari kegelisahan pribadi, dengan melihat berbagai macam situasi seperti krisis iklim, generasi sandwich, dan lain-lainnya,” kata koordinator program Kineforum DKJ, Ifan Ismail.

Ia menambahkan, dengan rumah permanen mereka saat ini, Kineforum bisa meneruskan program-program yang sudah ada berkolaborasi dengan lebih banyak pihak, dan proyeksi untuk memiliki program besar tahunan.

Namun, untuk mewujudkan itu, Kineforum juga masih harus merapikan tata kelolanya. Secara gedung, kepemilikan ada di tangan Jakpro, meski kurasi program dikembalikan ke Komite Film DKJ. Tapi, agar jalannya lebih mulus, perlu ada sistematika yang dirancang menjadi lebih sederhana. 

Belum lagi skema pendanaan yang juga berubah. Dulu, Kineforum dimotori dana hibah. Artinya, pertanggungjawaban sesuai hibah yang diberikan. Kini, pendanaan akan berasal dari APBD Pemprov DKI sehingga prosedurnya bisa jadi lebih kompleks. 

“Dulu hibah. Sehingga dana yang turun, bisa kami kelola lalu dilaporkan sesuai penggunaannya. Sekarang, karena APBD, jadi lebih ketat. Harus mengajukan dulu, acara dan programnya seperti apa, baru turun (dananya),” sambung Ifan.

Satu yang mutlak, Kineforum masih ingin tetap menjadi tempat memproduksi pengetahuan. Bukan saja soal belajar sinema, tetapi juga belajar melalui sinema. Seperti menghadirkan program-program kajian dan diskusi tentang isu tertentu, kemudian film bisa menjadi referensi dan jembatan isunya. (Jek/M-2) 









 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat