visitaaponce.com

Memperkuat Kesusastraan Bisa Tepis Kepunahan Bahasa

Memperkuat Kesusastraan Bisa Tepis Kepunahan Bahasa
Gelar wicara di Festival Bahasa dan Sastra Indonesia Sejati 2022 Media Indonesia.(MI/ Fathurrozak)

DI tengah masifnya penggunaan kosakata asing dalam bahasa keseharian baik secara lisan maupun teks, ada kecemasan terkait kepunahan bahasa Indonesia dan daerah. Hal itu di antaranya bisa ditandai dengan kurang akrabnya para penutur dengan kosakata yang sebenarnya ada dalam bahasa Indonesia maupun daerah.

 

“Bukan tidak digunakan lagi ya, mungkin lebih tepatnya jarang digunakan istilah dalam bahasa daerah. Sehingga membuat lupa definisi kata tersebut,” kata Analis Konservasi Bahasa dan Sastra, Koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional Pelindungan dan Pemodernan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek-Dikti Anita Astriawati dalam diskusi Sastra dan Peradaban Berkelanjutan yang menjadi rangkaian acara Festival Bahasa dan Sastra Indonesia Sejati 2022 Media Indonesia yang berlangsung di lobby Grand Studio Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat, Senin, (31/10).

 

Anita mencontohkan, dalam kunjungannya ke Natuna tahun lalu, ia menemukan kata baru, yakni lerau. Istilah yang merujuk pada situasi hujan yang datang secara tiba-tiba, baik gerimis maupun hujan deras.

 

“Ini tentu akan menarik jika bisa digunakan dalam keseharian atau menjadi pilihan diksi di karya sastra,” lanjut Anita.

 

Sementara itu, dalam pandangan Koordinator Program Pendidikan Sastra Indonesia fakultas bahasa dan seni Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Erfi Firmansyah menyampaikan, bahasa Indonesia yang kerap dilafalkan anak muda saat ini di berbagai daerah di Indonesia lazimnya adalah pengaruh dari Melayu Betawi.

 

“Sebagai pengkaji bahasa dan sastra, saya melihat tang digunakan anak muda itu bahasa Melayu Jakarta. Seperti halnya yang digunakan para penyiar radio baik itu di Bandung, Makassar, Medan, atau Palembang, seolah kita sedang mendengarkan radio dari Jakarta, karena bahasanya sama,” kata Erfi dalam kesempatan sama dengan Anita.

 

Erfi mencontohkan, dalam bahasa Indonesia ada kata mengapa, sementara bahasa Melayu Jakarta, menggunakan imbuhan in menjadi ngapain.

 

“Itu ada pengaruh dari Melayu Betawi. Aliran in itu khas Betawi dan Bali. Pada masa Batavia dikuasai Belanda, banyak sekali penduduk Bali dipekerjakan di Batavia. Para perempuan utamanya menjadi juru masak di kamp Belanda. Nah mereka lah yang bawa ‘aliran in.’ Kemudian ini dipopulerkan di Jakarta,” kata Erfi.

 

Erfi melanjutkan, dalam syair Lampung Karam, ada identifikasi beberapa kata melayu kuno, yang jika ditilik saat ini ada kata yang sudah tidak digunakan lagi.

 

Bagi sastrawan Damhuri Muhammad, kepunahan bahasa bisa dilawan dengan menyugguhkan tradisi kesusastraan yang kuat.

 

“Penyair, novelis, dan cerpenis bisa ciptakan bahasa baru. Memonumentasikan bagasa baru tersebut. Persoalan kepunahan bisa diatasi oleh iklim kekaryaan yang kuat,” kata Damhuri.

 

Menurut Damhuri, acara-acara seperti yang dilakukan Media Indonesia dengan menggelar festival bahasa dan sastra dan menyediakan ruang sayembara cerpen, itu bisa menjadi pemantik bentuk keterampilan artistik dalam berbahasa.

 

“Harus menghargai proses apresiasi dan mendistribusikan karya itu agar dibaca orang. Karya juga bisa lahir dengan distimulasi dalam penyelenggaraan acara, yang pilihan tematiknya bisa membentuk keterampilan artistik yang tidak melulu bicara isu ketubuhan, kekerasan. Tapi juga soal lingkungan. Banyak isu bisa dibicarakan.”

 

Festival ini merupakan tahun ke-2 penyelenggaraan. Selain gelar wicara, di festival ini, Media Indonesia juga menampilkan pembacaan puisi dari sejumlah tokoh termasuk, penyair berjuluk Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Festival ini diselenggarakan untuk merayakan bulan bahasa yang jatuh Oktober sekaligus menggelorakan kecintaan pada bahasa dan sastra Indonesia. (M-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat