visitaaponce.com

Sejumlah Tradisi Unik di Nusantara dalam Menyambut Idul Fitri

Sejumlah Tradisi Unik di Nusantara dalam Menyambut Idul Fitri
Sejumlah Abdi Dalem Keraton membawa gunungan saat prosesi Grebeg Syawal 1440 H di Masjid Gede Kauman, Yogyakarta pada 2019(ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/hp.)

Sebagai negara yang memiliki belasan ribu pulau dan beribu suku, masing-masing daerah mempunyai ciri khas dan jati diri yang berbeda dan unik yang salah satunya bisa dilihat saat m menyambut hari raya keagamaan seperti hari raya Idul Fitri.

Setelah menjalankan ibadah bulan puasa Ramadan selama 30 hari, umat muslim akan menyambut hari kemenangan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 di bulan Syawal. Setiap suku tersebut memiliki caranya sendiri dalam mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Dilansir dari laman resmi Menpan RB, berikut ini 5 tradisi di Indonesia dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri.

1. Bakar Gunung Api (Bengkulu)
Suku Serawai di Bengkulu juga menyambut Idul Fitri dengan sebuah tradisi bernama Ronjok Sayak atau yang dikenal Bakar Gunung Api dengan menyusun batok-batok kelapa menyerupai tusuk sate hingga menjulang tinggi, lalu kemudian dibakar di depan rumah masing-masing pada malam takbiran.

Tradisi ini yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini membakar batok kelapa tersebut sebagai sebuah simbolis atas ungkapan syukur kepada Sang Khalik dan sebagai doa bagi para arwah keluarga agar tentram di dunia akhirat. Sebab, masyarakat Bengkulu percaya bahwa api merupakan penghubung antara manusia dengan leluhur mereka.

2. Grebeg Syawal (Yogyakarta)
Grebeg Syawal merupakan sebuah tradisi berupa hajatan dan syukuran yang dimulai pada masa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tradisi ini menandakan akhir bulan suci Ramadan sekaligus menyambut bulan Syawal dengan membagi-bagikan sedekah. Sedekah tersebut berupa beragam masakan, makanan ringan hingga hasil bumi.

Upacara ritual yang rutin diadakan pada tanggal 1 Syawal (hari idul fitri) ini diawali dengan aktivitas para warga yang mengarak bermacam-macam hasil bumi yang disebut gunungan lanang berbentuk kerucut berukuran besar dari Pagelaran Keraton menuju halaman Masjid Agung Kauman untuk didoakan.

Gunungan lanang sendiri merupakan simbol perwujudan sedekah dari Sultan kepada rakyatnya. Setelah didoakan, hasil bumi tadi biasanya akan menjadi rebutan warga yang hadir dalam kegiatan tersebut. Pada puncak ritual, warga sekitar memperebutkan isi dari Gunungan Lanang dengan harapan mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa.

3. Perang Topat (Nusa Tenggara Barat)
Dilansir dari laman resmi pemkab Lombok Barat, tradisi  ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen yang melimpah dan rasa toleransi sebagai sesamat umat beragama.

Kegiatan perang topat ini diawali oleh ritual di kemaliq di pura lingsar. Kemudian masyarakat hindu dan muslim melakukan tradisi saling lempar ketupat. Hal ini sebagai bentuk komunikasi dan kebersamaan antara warga hindu dan islam di Lingsar. Kegiatan ini merupakan salah satu wujud toleransi dan moderasi di pulau Lombok.

Pada tradisi Perang Topat dilakukan 6 hari setelah hari raya Idul Fitri yang dimulai pada pukul 17.30, tepat dimana matahari mulai terbenam, warga Lombok yang berasal dari agama Islam dan Hindu saling berperang dengan melemparkan ketupat. Sebelum melaksanakan Perang Topat, warga Lombok berziarah terlebih dulu ke makam para ulama.

Usai berziarah, prosesi Perang Topat dimulai dengan membawa sesajen berupa hasil bumi yang dilakukan oleh Suku Sasak dan tokoh umat Hindu di Lombok. Tradisi Perang Topat sendiri juga mampu mengajak manusia untuk kembali merefleksikan jati dirinya

4. Meriam Karbit (Pontianak)
Tradisi Meriam Karbit ini yang sudah sudah dijalankan selama 200 tahun lebih oleh masyarakat muslim di sekitar tepian Sungai Kapuas dalam menyambut idul fitri ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur dengan membunyikan Meriam Karbit yang berukuran 6 meter.

Tradisi ini sendiri menggunakan meriam yang terbuat dari bambu besar dan diletakkan di pinggir Sungai Kapuas. Menjelang malam takbiran, para warga Pontianak akan berkumpul di sekitar pinggir sungai untuk menyalakan meriam-meriam besar tersebut sebagai tanda datangnya hari kemenangan. Seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut menjelma menjadi ajang perlombaan, dimana setiap kelompok warga yang memiliki meriam saling membunyikan meriam.

5. Pukul Sapu (Maluku Tengah)
Tradisi yang awal mula berkembang di desa Morela dan desa Mamala di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah itu dijalankan oleh para pemuda dengan saling berhadapan dan saling memukul punggung satu sama lain menggunakan lidi dari pohon enau dalam kurun waktu 30 menit di halaman masjid.

Tradisi Pukul Sapu yang dilaksanakan secara rutin setiap 7 hari pasca lebaran ini meskipun dianggap ekstrim dan membahayakan para anggotanya, namun menjadi salah satu cara yang mampu menjalin ikatan silaturahmi antara kedua desa dengan baik.

Seusai penyelenggaraan tradisi yang telah dilestarikan sejak abad ke-17 ini, setiap pemuda mendapatkan pengobatan secara khusus dari desanya karena punggung para pemuda akan mengalami kulit sobek hingga berdarah-darah.

Pemuda yang berasal dari desa Morela akan memperoleh getah jarak sebagai obat penyembuh luka, sementara pemuda yang berasal dari desa Mamala menerima obat penyembuh luka yang terbuat dari minyak kelapa yang dicampur dengan pala dan cengkeh.(M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat