visitaaponce.com

Magis Cinta Palegongan Smara Dahana

BIYANG Bulan, begitu panggilan sayang bagi sosok mendiang Ayu Bulantrisna Djelantik dari para muridnya di Komunitas Tari AyuBulan. Bagi mereka, terutama murid-murid yang mendampinginya sejak kelahiran Bengkel Tari AyuBulan di 1992, Biyang Bulan memang bukan hanya guru tari saja.

Sang maestro tidak sekadar mengajarkan bagaimana agar piawai menari bergerak selaras tabuh, atau hafal rangkaian tari ini dan itu, tetapi juga mengajarkan bagaimana mempelajari esensi kehidupan melalui berkesenian.

Bulantrisna sendiri mulai belajar menari pada usia 7 tahun. Perkenalannya dengan Legong klasik berlangsung ketika ia kemudian berguru kepada tokoh pengajar Legong legendaris, Gusti Niang Sengog, di Desa Peliatan, di dekat Ubud. Sejak saat itu, Biyang Bulan dan Legong bak tidak terpisahkan, bahkan sekalipun ketika ia sudah dewasa, berkeluarga dan disibukkan dengan praktik dokter dan bergiat di bidang kesehatan telinga, hidung, serta tenggorokan (THT).

“Bibit (lingkungan keluarga), tanah (kelahiran), dan pupuk (dukungan keluarga, guru, dan penonton),” begitu ujar cucu raja terakhir Karangasem, A.A. Anglurah Djelantik, tersebut saat menjelaskan cinta tanpa akhirnya terhadap dunia tari, dalam suatu acara di stasiun televisi swasta, beberapa tahun silam.

Cinta itu pula yang menjelma bara dari ketekunan Biyang Bulan melakukan regenerasi. Setelah kelompok penari Bengkel Tari AyuBulan, dirinya membidani Lestari AyuBulan dan Tunas Tari AyuBulan untuk menyemai dan menumbuhkembangkan bibit-bibit penari baru. Bibit-bibit penari yang ia harap dapat ikut melanggengkan keberadaan tari tradisi Bali, utamanya Legong klasik gaya Peliatan.

Rabu, 24 Februari 2021, Biyang Bulan wafat di usia ke-74. Dalam duka dan suka yang tidak akan lekang saat mengenangnya, pada tahun kedua kepergiannya ini, Komunitas Tari AyuBulan menghelat pementasan istimewa sebagai penghormatan.

Sabtu malam (6/5) silam, panggung Teater Blackbox Salihara, Jakarta, yang sempat menggelap kembali terang. Dari balik tirai, Batara Smara keluar dengan busur di tangan.

Sembari menari berputar-putar, dibidiknya Sang Siwa yang tengah bertapa. Sekali, dua kali, Sang Siwa tetap bergeming.

Bersama Dewi Ratih, istrinya, Batara Smara berdoa. Lalu, dilontarkannya 'panah' pusaka, panah asmara. Sang Siwa terusik. Dalam murka, mata ketiganya membakar hangus Batara Smara dan Dewi Ratih.

Adegan tersebut memuncaki pertunjukan Palegongan Smara Dahana, yang selain menjadi tribute bagi Biyang Bulan, juga menjadi sumbangsih Komunitas Tari AyuBulan dalam merayakan Hari Tari Sedunia setiap tanggal 29 April.

Palegongan Smara Dahana merupakan salah satu karya koreografi Biyang Bulan yang dipertunjukkan pertama kali oleh Bengkel Tari AyuBulan pada 1997.

Berangkat dari kakawin berjudul serupa, dikisahkan, Kahyangan tempat para dewa dan dedari bersemayam tiba-tiba gempar. Raksasa sakti Nilarudraka (Ngurah Pandu) muncul membuyarkan ketenteraman. Hanya Sang Siwa (Ni Ketut Putri Minangsari) yang konon bisa menandingi kesaktiannya.

Namun, Siwa tengah bersemadi, dan tiada yang berani membangunkannya. Batara Indra (Adrienna Wallis) kemudian meminta Batara Smara (Ni Nyoman Sri Trianawati) untuk mengemban tugas tersebut.

Bersama Dewi Ratih (Nurlya Hermansyah) yang setia menemani, Batara Smara pergi ke tempat Batara Siwa bertapa. Nahas, sejoli tersebut gugur usai berhasil menggenapi titah.

Dibalut sesal, Sang Siwa lalu menebar abu dari jasad Batara Smara dan Dewi Ratih ke empat penjuru dunia. Syahdan, spirit keduanya lantas 'hidup' kembali dalam wujud cinta kasih di hati umat manusia.

Para penerus

Berdurasi kurang lebih 1 jam, Palegongan Smara Dahana mampu menghadirkan pementasan yang menawan pandangan.

Dua puluh enam penari tampil solid dengan jalinan energi selaras. Mulai dari tokoh Dalang yang membangun atmosfer magis –ditarikan oleh Ayu Manik Ambarwati yang juga sepupu Biyang Bulan- para penari Ragakusuma dan para dedari yang manis gemulai, serta para penari Telek yang dinamis.  

Adapun para pelakon dewa-dewi dan Nilarudraka sah menjadi roh pementasan. Keindahan gerak mereka tidak perlu dipertanyakan.

Yang menjadikannya penuh kesan adalah tarian mereka yang dapat menyentuh emosi penonton, termasuk saya yang awam. Begitu cakap para penari tersebut menjiwai peran masing-masing. Ekspresi gerak mereka, baik lewat sorot mata, geleng kepala, atau gestur jemari, mampu membuat penonton memahami suasana batin dari karakter yang mereka tarikan.

Kecemasan Batara Indra, kegundahan Batara Smara serta kepiluan Dewi Ratih menghadapi misi hidup dan mati, semua terasa mengaduk emosi.

Nilarudraka, kendati mimiknya tidak terlihat karena memakai topeng, mencuri atensi dengan beringas cakar panjangnya yang menyeret para dedari ke sana ke mari, dan footwork nan lincah.

Begitu pula Batara Siwa. Di balik topeng Rangda, amarahnya tersampaikan lewat gerak-gerik yang intens, hentakan kaki, juga Kereb (kain Rangda) yang ia sambar-sambarkan serupa jilatan api dari mata ketiganya.

Tatkala menyadari tewasnya Batara Smara dan Dewi Ratih, Sang Siwa bersedih. Diiringi narasi Juru Tandak I Gede Adiputra dan lantun gamelan yang dikomandoi I Gede Eka Suardiana Karang, suasana berubah syahdu. Permainan lampu sorot biru dan ungu ikut membuat hati mengharu biru. Sekuat mungkin saya berusaha menahan sedan, walau sependengaran saya, sepertinya bukan cuma saya yang terdorong emosi.

Sebagai salah satu elemen teknis, dekor dan properti panggung yang minimalis juga turut memperkuat penampilan para penari malam itu. Kostum Legong bercorak keemasan dengan tabur ratusan manik terlihat kian mewah dengan kontras panggung yang serba hitam. Sesekali, hiasan manik kaca di kostum mereka memantulkan cahaya dari lampu-lampu sorot dan menjadi aksen yang indah.

Pertunjukan palegongan yang, puji syukur, ‘dihidupkan’ lagi oleh tim produksi pimpinan Renny Triwahyuni dari Bengkel Tari AyuBulan tersebut, kiranya menjadi penghormatan elok bagi sang maestro tari. Terhitung sudah selang sembilan tahun sejak Palegongan Smara Dahana terakhir naik panggung, di Goethe Haus, Jakarta, pada 2014.

Menyimak pergelaran di malam cerah dengan rembulan bulat ini –terbayang betapa semakin indahnya jika dipentaskan di luar ruang— terang sudah cinta dan kesetiaan Biyang Bulan terhadap dunia tari terus memancar melalui laku generasi penerusnya. Sebagaimana abadi kasih Smara dan Ratih, semoga dan semoga, ia pun akan terus bersinar. (M-1)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat