visitaaponce.com

Kontroversi Juragan Minyak di KTT Iklim

Kontroversi Juragan Minyak di KTT Iklim
Sultan Ahmed al-Jaber, konglomerat minyak yang akan Memimpin KTT Iklim (COP28) di Dubai, bulan depan.( Ryan LIM / AFP)

KTT Iklim ke-28 atau COP28 akan digelar di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir November mendatang. Pertemuan itu akan dipimpin konglomerat minyak Sultan Ahmed al-Jaber, utusan iklim Uni Emirat Arab, menteri industri dan teknologi yang juga CEO perusahaan minyak milik negara ADNOC.

Inilah yang menimbulkan kontroversi. Apalagi saat ini para ahli gencar memperingatkan pentingnya peralihan dari bahan bakar fosil agar dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Sejumlah anggota parlemen AS dan Eropa pun mendesak agar Jaber diskualifikasi dari jabatannya. Begitu juga dengan ratusan kelompok aktivis lingkungan yang menyerukan agar dia mundur dari COP atau ADNOC.

Tapi, Jaber tidak peduli. Pria berusia 50 tahun ini bahkan marah dituduh memiliki konflik kepentingan. Saat diwawancara AFP Juli lalu, ia mengatakan “Saya adalah seseorang yang menghabiskan sebagian besar karier di bidang keberlanjutan, pembangunan ekonomi berkelanjutan dan manajemen proyek, serta energi terbarukan.”

Ia memang mendirikan perusahaan energi terbarukan milik negara, Masdar, satu dekade sebelum ia memimpin ADNOC dengan mandat untuk melakukan dekarbonisasi dan mempertahankan masa depan negara raksasa penghasil gas dan minyak tersebut.

Namun, riwayat kariernya itu justru menimbulkan banyak pertanyaan mengenai kepemimpinannya di KTT Iklim.

"COP28 dilanda awan gelap dan mengundang skeptisisme publik," kata Senator AS Sheldon Whitehouse, salah satu anggota parlemen AS dan Eropa yang tahun lalu menyerukan agar pelobi bahan bakar fosil tidak diikutsertakan dalam perundingan.

Ia mengatakan kepada AFP bahwa surat terbuka yang berisi keberatan mereka itu dipicu oleh pernyataan Jaber yang menyatakan bahwa kepentingan minyak dan gas akan "diperundingkan".

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa hubungan Jaber dengan industri minyak mungkin merupakan suatu keuntungan. Salah satu negosiator Eropa yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa presiden COP perlu membantu mencapai konsensus di antara negara-negara dengan perekonomian yang beragam di dunia,  termasuk negara-negara yang memiliki cadangan minyak, gas, dan batu bara.

Taruhannya tinggi.

Seperti diketahui, tujuan paling ambisius dari Perjanjian Paris yang dihasilkan pada KTT Iklim (COP21) tahun 2015 di Paris adalah membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Para ahli iklim PBB tahun ini memperingatkan bahwa batasan tersebut bakal dilanggar pada tahun 2030-an, yang salah satunya disebabkan masih tingginya penggunaan bahan bakar fosil.

Namun, Jaber berjanji untuk membantu menggerakkan upaya dalam menjaga suhu 1,5C dapat dicapai dan dipertahankan. “Apa yang dapat saya sampaikan kepada Anda adalah saya akan bekerja dengan semua orang untuk mengembangkan rencana yang dapat dicapai, dapat ditindaklanjuti, realistis dan pragmatis, serta akan memberikan hasil yang nyata,” katanya.

Yang mengejutkan, ia berhasil memenangkan hati beberapa orang yang selama ini skeptis. Harjeet Singh, dari koalisi Climate Action Network International yang berpengaruh, mengatakan titik balik terjadi pada bulan Juli, ketika Jaber menulis bahwa "pengurangan permintaan dan pasokan semua bahan bakar fosil tidak dapat dihindari dan penting".

“Dia sangat lugas, dia terbuka untuk mendengarkan,” kata Singh kepada AFP, namun menambahkan bahwa mereka “setuju untuk tidak setuju” dalam beberapa isu.

Perbedaan pendapat tersebut mencakup keunggulan yang diberikan kepada pelobi bahan bakar fosil dan dukungan Jaber terhadap teknologi penangkapan karbon yang kontroversial, seperti teknologi yang memerangkap emisi pada sumbernya dan menyimpannya secara permanen.

ADNOC juga telah membuat komitmen pada bulan Juli untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2045 untuk operasinya sendiri. Namun target tersebut tidak termasuk emisi yang dihasilkan oleh minyak dan gas yang dibakar oleh para pelanggannya, yang menyumbang sebagian besar jejak karbonnya.

Uji ambisi

Akankah Dr Sultan, begitu Jaber dikenal oleh timnya, dapat menggunakan posisi COP-nya sebagai fasilitator di belakang layar untuk membantu menyampaikan naskah ambisius yang dapat diterima oleh semua pihak? Pendahulunya pada COP21 di Paris, Laurent Fabius, mengatakan “Dia (Jaber) adalah orang yang mengetahui arsipnya dengan sangat baik".

Namun perunding Eropa yang enggan disebutkan namanya mengatakan,  Jaber “sedikit tertinggal” dalam hal perundingan naskah akhir dan “kurang proaktif” dibandingkan Inggris dua tahun lalu pada COP26 di Glasgow.

Beberapa orang khawatir Jaber terlalu fokus pada keputusan sekunder dalam proses ini dan tidak daapt mendorong komitmen yang menarik perhatian dunia usaha dan negara di sela-sela perundingan perubahan iklim, yang sejauh ini merupakan perundingan terbesar yang pernah diadakan.

Bukti kemampuannya untuk menggiring naskah PBB yang lebih penting melalui perundingan akan terlihat pada 12 Desember, ketika perundingan COP28 ditutup. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat