visitaaponce.com

Intip Karya 12 Seniman Muda Indonesia di Pameran Bhinneka Tunggal Ika

Saat melangkahkan kaki ke area pameran Bhinneka Tunggal Ika di Bentara Budaya Art Gallery di Menara Kompas, Lantai 8, Jakarta Pusat, Media Indonesia langsung disambut oleh patung berukuran cukup besar.

Sekilas patung tersebut akan mengingatkan pada patung Sang Buddha dalam salah satu pose klasiknya, bermeditasi di atas altar daun teratai. Namun, patung ini justru berwujud perempuan muda berkerudung dan berkacamata. Sama seperti patung Buddha, ia tampak tengah bermeditasi dalam posisi lotus (kaki bersila) dengan jemari tangan membentuk mudra yang dewasa ini banyak tampak dalam aktivitas yoga.

Dulunya dilakukan oleh umat Buddha dan Hindu, yoga dan meditasi kini dipraktikkan di seluruh dunia oleh semua orang, termasuk wanita muslim. Menghancurkan stereotip, karya seni ini membahas emansipasi perempuan religius dan tempat mereka dalam masyarakat kontemporer.

Patung tersebut berjudul Sri Naura Paramita, berukuran 176 X 250 X 250 cm dan dibuat pada 2021 oleh seniman Alfiah Rahdini, seniman multidisiplin asal Indonesia yang lahir tahun 1990.

Menurut Alfi, sapaan akrabnya, patung Sri Naura Paramita terinspirasi dari patung era Majapahit, yaitu patung Prajnaparamita yang merupakan dewi kebijaksanaan.

"Saya mencoba untuk membuat makna Prajnaparamita di dalam diri saya ke dalam konteks hari ini. Maka, dalam patung itu saya mencetak tubuh saya sendiri dengan posisi tubuh yang ada pada Prajnaparamita," kata Alfi, saat ditemui Media Indonesia sebelum pembukaam pameran Bhinneka Tunggal Ika di Bentara Budaya Art Gallery, Jakarta Pusat, Kamis (23/11).

"Lalu, saya melakukan posisi tersebut sebagai saya ingin mempelajari dan memahami itu. Lalu, saya mencoba mengontekstualisasikannya dengan budaya kontemporer. Maka, saya menggubah busanamya menjadi memiliki busana sebagaimana perempuan Indonesia saat ini di lingkungan saya dan di generasi saya khususnya di Bandung," lanjutnya.

Karya-karyanya, menurut Alfi, banyak mengeksplorasi berbagai aspek masyarakat, memanfaatkan lapisan pemikiran yang kompleks dari seni, budaya, dan agama, oleh seniman wanita.  Dengan cara ini, Alfi berupaya mewujudkan lapisan pemikiran yang kompleks, paradoks yang saling tumpang tindih dan selaras untuk menyikapi permasalahan kontemporer.

Memori kepang dan kerusuhan 1998

Beralih ke sisi lainnya di ruangan pameran, terdapat rambut-rambut panjang sintesis yang tersusun menjuntai tergantung. Ada yang sudah dikepang, ada pula yang belum. Menariknya, tak sedikit pengunjung pameran mencoba mengepang rambut tersebut.

Karya tersebut merupakan karya instalasi seni dari Audya Amalia berjudul Things Left Unsaid on the Edge of Her Fingers berukuran 5 X 3,5 cm dan dibuat tahun 2023.

Audya tertarik pada sejarah, spiritualitas, dan kehidupan rumah tangga, sehingga ia mengadopsi pendekatan dialogis yang melibatkan estetika relasional untuk membentuk tema-tema tersebut.

Karya ini mengajak penontonnya untuk mengambil bagian dalam aksi mengepang, sebuah proses yang sangat simbolis dan intim bagi sang seniman.  Melalui karya partisipatif ini, Audya ingin menghidupkan kembali dan berbagi kehangatan yang ia rasakan saat sang ibu mengelus rambut hingga mengepangnya

Audya adalah seniman visual lahir pada tahun 1996 dan tinggal di Bandung, Indonesia.  Ia memulai kariernya pada tahun 2014 dan belajar di Fakultas Seni dan Desain, di mana ia menjadi akrab dengan seni pahat, instalasi, dan tekstil.

Melalui instalasi sensorik ini, Audya bertujuan untuk memancing refleksi mengenai identitas, feminitas, dan ikatan yang mengikat individu. Tindakan mengepang menjadi alegori sejati, melampaui segala batas untuk mempersatukan umat. "Saya ingin mengajak pengunjung yang datang untuk mengepang rambut bareng-bareng," ungkap Audya.

Di bagian lain, ada pula karya instalasi suara  yang menceritakan kerusuhan yang terjadi pada 1998 silam. Tampak ruangan dipenuhi dengan banyak kardus yang ditempel ke dinding dan terdengar suara-suara yang hadir dari tembok-tembok yang ditutupi kardus. Karya instalasi suara tersebut bertajuk Napak Tilas yang dibuat tahun 2023 karya seniman Mira Rizki.

Untuk membuat karya ini, Mira Rizki menggunakan karton domestik dari Jakarta dan Gwangju, Korea Selatan, dan mengumpulkan suara-suara sekitar dari situs-situs simbolis masing-masing kota, membandingkannya dengan "situasi akustik" saat itu, menggunakan media database.  

Dengan cara ini, sang seniman menciptakan lanskap pendengaran baru, menceritakan perjalanan sepanjang peristiwa bersejarah, yang berakhir dengan keheningan. Melalui karya ini, Mira ingin penonton berbagi dan bertukar kenangan pendengarannya.

Seniman kelahiran Bandung tahun 1994 ini merupakan seniman yang memanfaatkan media baru untuk menciptakan karya interaktif.

Ia sangat tertarik pada variasi persepsi suara tergantung pada konteks sekitar pendengar.  Memang benar, mendengarkan dipicu oleh satu stimulus, yang pada gilirannya bergantung pada memori pendengaran dan lingkungan.

"Komposisi bunyi yang menceritakan situasi Jakarta tahun 98. Karya ini, aku mencoba mereka ulang gimana kejadian tahun 98 melalui bunyi. Jadi sebenarnya ini kayak mengandai-andaikan situasi tahun 98 ketika lagi kerusuhan dan krisis moneter. Jadi aku cari tahu dari ibu saya, dari media, dari publik, jadi aku coba bangun situasi bunyi ini dalam karya ini," tutur Mira.

"Cara buatnya aku dateng ke tempat kejadiannya seperti Trisakti dan lainnya, aku ngerekam situasi sekarang, mungkin suara orang jalan-jalan, suara orang numpuk kardus atau suara orang lewat tapi aku bikin situasinya seolah kayak situasi tahun 98 pas kerusuhan terjadi," lanjutnya.

Seni Mural

Pameran Bhinneka Tunggal Ika juga menyertakan karya seni mural dari seniman Yessi Nur Mulianawati. Tampak dari seni mural tersebut dua wanita yang berbagi beban, terinspirasi oleh konsep Indonesia "Gotong Royong" yaitu kerja sama dan solidaritas antar sesama anggota dalam komunitas.

Agar betah berada di zona nyamannya dan berbagi cerita dengan komunitas di dalam dan luar negeri, wanita yang akrab disapa Yessiow ini melukiskan pot-pot antik yang kini menjadi miliknya dalam seni mural tersebut.

Sebuah simbol pertumbuhan, lingkungan yang subur dan tradisi, pot memungkinkan seniman untuk mengangkat tema-tema yang dekat dengan hatinya, seperti keragaman, kesatuan budaya dan pentingnya adat istiadat di dunia saat ini.
 
"Konsep Indonesia gotong royong, jadi saya ingin membuat pesan positif lewat mural saya ini kalau sebagai seorang perempuan kita harus saling support. Gak cuma support  perempuan ke perempuan tapi ke semua orang in general,"

"Makanya di banyak mural saya karakternya perempuan karena saya sebagai perempuan di dunia street art, saya ingin memberi inspirasi ke teman-teman bahwa kita bisa sampai dapat proyek besar. Jadi, everything is possible, enggak terbatas pada gender," lanjutnya.

Selepas menekuni desain grafis, Yessiow menjadi seorang ilustrator dan seniman urban.  Penuh semangat tentang seni sejak usia dini, sang seniman kini berkeliling dunia melukis dinding berwarna-warni yang menceritakan beragam kisah kepada penduduk kota tempat ia melukis.

Selain beragam karya seni tersebut, masih banyak lagi karya seni menarik lainnya. Tertarik berkunjung ke pameran Bhinneka Tunggal Ika? Anda bisa datang langsung ke Bentara Art Gallery Jakarta di Menara Kompas lantai 8. Pameran berlangsung hingga 28 November 2023. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat