visitaaponce.com

Agar Bumi tetap Layak Huni, Kurangi Laju Emisi dari Sekarang

Agar Bumi tetap Layak Huni, Kurangi Laju Emisi dari Sekarang !
Grafik yang menunjukkan emisi CO2 tahunan dari bahan bakar fosil menurut wilayah/negara dari tahun 1850 hingga 2022(AFP/Julia Han JANICKI and Sabrina BLANCHARD )

Pada KTT Iklim di Paris 2015 sejumlah negara sepakat untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius. Sebab, jika ambang batas itu dilewati, akan berisiko menyebabkan efek perubahan iklim yang jauh lebih parah pada manusia, satwa liar, dan ekosistem.

Namun, menurut studi terbaru, ambang batas itu sepertinya akan terlampaui dalam tujuh tahun ke depan karena emisi CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar fosil terus meningkat. Para ilmuwan pun memperingatkan dan mendesak negara-negara yang saat ini sedang mengikuti konferensi iklim (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, untuk segera bertindak dari sekarang untuk mengurangi polusi yang dihasilkan dari penggunaan batu bara, minyak, dan gas.

Pertarungan mengenai masa depan bahan bakar fosil mulai terjadi pada pertemuan puncak iklim PBB di Dubai. Sejumlah negara besar penghasil polusi itu berusaha mengabaikan seruan untuk membuat perjanjian guna menghapuskan penggunaan bahan bakar fosil, yang dituding bertanggung jawab atas sebagian besar gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.

Menurut konsorsium ilmuwan iklim internasional dalam penilaian Proyek Karbon Global tahunan mereka, dengan melonjaknya emisi di Tiongkok dan India (yang kini merupakan penghasil emisi terbesar pertama dan ketiga di dunia), polusi CO2 bahan bakar fosil meningkat 1,1 %  pada tahun lalu. Dalam laporan itu,  Indonesia juga menjadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18.3% pada tahun 2022. (Lihat juga grafis)

Mereka memerkirakan bahwa ada kemungkinan 50% pemanasan akan melampaui target kesepakatan Paris yaitu 1,5 derajat Celcius selama beberapa tahun pada sekitar tahun 2030, meskipun mereka mencatat adanya ketidakpastian seputar pemanasan yang disebabkan oleh gas rumah kaca non-CO2.

“Hal ini (mengurangi bahan bakar fosil) menjadi semakin mendesak,” kata pemimpin penelitian Pierre Friedlingstein, dari Institut Sistem Global Universitas Exeter, kepada wartawan, Selasa (5/12). “Untuk menjaga peluang kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5C, atau mendekati 1,5C, kita perlu bertindak sekarang,” imbuhnya.

Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Earth System Science Data.

Salah arah

Target untuk menjaga suhu global tetap atau di bawah 1,5C kini menjadi semakin mendesak seiring dengan munculnya bukti bahwa pemanasan yang melampaui angka tersebut dapat memicu titik kritis yang berbahaya dan tidak dapat diubah.

Untuk menjaga batas tersebut, panel ilmu iklim PBB (IPCC) mengatakan emisi CO2 perlu dikurangi setengahnya pada dekade ini. “Hal ini menjadi tugas yang lebih menantang karena emisi terus meningkat,” demikian temuan Proyek Karbon Global.

Glen Peters, peneliti senior di Pusat Penelitian Iklim Internasional CICERO, mengatakan emisi karbon dioksida sekarang 6% lebih tinggi dibandingkan ketika negara-negara menandatangani perjanjian Paris. “Segala sesuatunya berjalan ke arah yang salah,” katanya.

Hal ini terjadi meskipun ada lonjakan energi terbarukan yang menjanjikan, yang merupakan isu utama dalam perundingan iklim Dubai di mana lebih dari 100 negara telah menandatangani seruan untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada dekade ini.

“Penggunaan energi angin, tenaga surya, kendaraan listrik, baterai, semuanya berkembang pesat, dan ini merupakan hal yang luar biasa. Namun itu hanya sebagian dari upaya yang dilakukan. Sisanya adalah pengurangan emisi bahan bakar fosil. Sejauh ini upaya yang kita lakukan belum cukup,” tukas Peters.

India

Penelitian terbaru baru ini menemukan bahwa bahan bakar fosil menyumbang 36,8 miliar ton dari total 40,9 miliar ton CO2 yang diperkirakan dihasilkan tahun ini.

Beberapa negara penghasil polusi utama telah mencatat penurunan emisi CO2 tahun ini – termasuk penurunan sebesar 3% di Amerika Serikat dan penurunan sebesar 7,4% di seluruh Uni Eropa.

Namun Tiongkok, yang menyumbang hampir sepertiga emisi global, diperkirakan akan mengalami kenaikan CO2 sebesar 4% pada tahun ini, demikian temuan penelitian tersebut. Hal ini, menurut mereka, lantaran meningkatnya penggunaan batu bara, minyak, dan gas dalam industri seiring pulihnya negara itu dari dampak pandemi Covid-19.

“Sementara itu, peningkatan emisi CO2 lebih dari 8% di India berarti negara tersebut kini telah melampaui UE sebagai negara penghasil bahan bakar fosil terbesar ketiga,” kata para ilmuwan. Baik di India maupun Tiongkok, peningkatan permintaan listrik melampaui penerapan energi terbarukan secara signifikan,” kata Peters. Emisi dari sektor penerbangan meningkat sebesar 28% tahun ini seiring dengan bangkitnya tingkat emisi terendah di era pandemi.

Sementara itu, menanggapi laporan terbaru Proyek Karbon Global ini, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan mengatakan Indonesia harus memperkuat komitmennya dalam menghentikan dan mengembalikan (halting and reversing) laju kehilangan hutan Indonesia sebagaimana yang telah dijanjikan pada Glasgow’s Leaders Declaration on Forest and land Use.

Saat ini dengan rata-rata kenaikan suhu bumi sekitar 1,2C telah menimbulkan gelombang panas yang menyengat, kebakaran hutan, banjir, dan badai yang semakin sering. Jadi, bisa dibayangkan apa yang terjadi di masa depan jika suhu global terus meningkat. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat