visitaaponce.com

DPR Meminta Data Stok dan Kebutuhan Beras Nasional

DPR Meminta Data Stok dan Kebutuhan Beras Nasional
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.(Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. )

ANGGOTA Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi mempertanyakan urgensi impor beras oleh Indonesia, di saat produksi beras nasional surplus.

“Apa urgensi impor beras dan kebutuhan mendesaknya. Berapa kebutuhan beras nasional sehingga pemerintah memilih mengimpor beras,” kata Baidowi, dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (17/3).

Dia meminta Kementerian Perdagangan mengungkapkan secara transparan, akan data valid tentang ketersediaan dan pasokan dari beras petani dalam negeri, serta kebutuhan beras di dalam negeri. Dia meminta Kementerian Perdagangan agar jangan terburu-buru mengeluarkan izin impor beras.

“Artinya data komoditas pangan Indonesia masih semrawut, sehingga impor yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Untuk itu, Pemerintah harus membuat data tunggal tentang ketersediaan pangan dan pasokan dari petani dalam negeri. Mengedepankan ego sektoral harus dihindari,” kata Baidowi.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Momon Rusmono mengklaim produksi beras nasional akan surplus 12,56 juta ton hingga akhir Mei 2021 karena petani memasuki masa panen raya.

Pada awal Maret, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis secara resmi angka tetap produksi padi di Indonesia. Produksi padi pada 2020 sebesar 54,65 juta ton gabah kering giling (GKG), mengalami kenaikan sebanyak 45,17 ribu ton atau 0,08 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 54,60 juta ton GKG.

Jika dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras pada 2020 sebesar 31,33 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 21,46 ribu ton atau 0,07 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 31,31 juta ton.

Sementara itu, potensi produksi periode Januari–April 2021 diperkirakan mencapai 14,54 juta ton beras atau mengalami kenaikan sebesar 3,08 juta ton (26,84 persen) dibandingkan dengan produksi beras pada subround yang sama tahun lalu sebesar 11,46 juta ton.

Berdasarkan data Perum Bulog, hingga 14 Maret 2021, di Gudang Bulog masih tersimpan 883.585 ton beras yang terdiri 859.877 ton stok cadangan beras pemerintah (CBP), dan 23.708 ton stok beras komersial. Dari jumlah stok CBP itu ada 106.642 ton beras hasil impor 2018 yang telah mengalami penurunan mutu, sehingga harus dicampur (oplos) dengan beras baru agar bisa dikonsumsi.

Pada 2018 Bulog mengimpor 1.785.450 ton yang sebagian masih tersisa saat ini dan ini membuktikan bahwa selama ini impor beras memang tidak sesuai dengan data kebutuhan dalam negeri.

Beras yang masih ada saat ini perlu segera disalurkan ke pasar dan masyarakat agar jumlah beras yang mengalami penurunan mutu tidak bertambah banyak.

“Beras impor tahun 2018 saja masih banyak dan terancam mengalami penurunan mutu akibat tidak diserap. Ke depan pola ini jangan dibiarkan, serap dulu stok yang ada, karena kalau mengalami penurunan mutu maka tak layak konsumsi sehingga negara rugi,” kata Baidowi.

Maka, dia menilai beras impor yang masuk akan menunjukkan anomali terhadap kegiatan produksi pangan, yang tidak berjalan maksimal.

“Untuk memenuhi kebutuhan beras nasional, kami mendorong pemerintah lebih mengutamakan produksi dalam negeri. Semua potensi yang ada perlu dimaksimalkan, termasuk menggandeng instansi BUMN-BUMN pangan untuk semakin meningkatkan jumlah dan kualitas produksi,” kata Baidowi.

Sepakat, anggota Komisi IV DPR RI, Ema Umiyyatul Chusnah mengatakan rencana impor beras yang akan dilakukan pemerintah tidak tepat, karena kebutuhan beras dalam negeri saat ini masih mencukupi.

“Apalagi bulan Maret - April adalah musim panen raya di berbagai daerah di Indonesia,” kata Ema.

Komisi IV juga membantah klaim Kementerian Perdagangan yang menyebut impor beras tidak akan menjatuhkan harga gabah, karena kenyataannya berbeda dengan di lapangan. Hanya dengan wacana impor beras saja harga gabah di petani sudah jatuh di angka Rp 3.500 per kilogram bahkan ada yang lebih rendah.

Rencana Impor di tengah stok yang masih melimpah menunjukkan buruknya tata perencanaan dan kelola pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan mengenai perberasan.

“Data Kementerian Perdagangan berbeda dengan data Dirjen Tanaman Pangan dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian pertanian yang menyebut produksi dalam negeri masih mencukupi kebutuhan," jelasnya.

"Kami meminta sebaiknya pemerintah membuka data ke publik mengenai stok beras dan jumlah kebutuhan nasional, apakah impor dibutuhkan atau tidak. Sehingga publik dapat menilai dan pemerintah transparan dalam mengambil kebijakan,” kata Ema.

Sebelumnya Senin lalu (15/3), Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, pemerintah berencana membuka keran impor beras. Namun dia menegaskan jumlahnya belum pasti satu ton. Sebab, kebutuhan impor beras harus merujuk pada dinamika stok dan harga di dalam negeri.

Rencana ini, kata Lutfi, sebenarnya untuk menambah stok beras Bulog atau disebut Iron Stok. Sehingga ketika stok menipis dan harga beras tinggi, Bulog telah memiliki cadangan beras. Impor tetap dilakukan pemerintah dengan alasan pengamanan pangan dan stabilitas harga beras di masa pandemi hingga 2021.

Lutfi menekankan kebijakan impor beras ini tidak akan menghancur harga gabah di tingkat petani.

“Percayalah tidak ada niat pemerintah untuk hancurkan harga petani terutama saat sedang panen raya," kata Lutfi. (Try/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat