visitaaponce.com

Pengusaha Keberatan soal Tarif Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO

Pengusaha Keberatan soal Tarif Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO
Petani berkegiatan di kebun kelapa sawit di Pidie, Aceh(Antara/AMir MR)

GABUNGAN Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan keberatan dengan besaran tarif bea keluar (BK) minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang baru ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.

Kelompok pengusaha sawit itu menilai aturan bendahara negara bertolak belakang dengan upaya percepatan ekspor CPO dan mendorong peningkatan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menyatakan, penetapan tarif BK CPO dinilai membingungkan dan kontradiksi.

"Ada peningkatan (BK) dari US$200 per ton CPO menjadi US$288, ada kenaikan US$88 per ton CPO. Padahal di lain pihak, kita sangat bersamangat agar harga TBS itu naik. Jadi kami keberatan dengan PMK 98 ini sebetulnya," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (11/6).

"PMK itu tidak mengusahakan bagaimana harga TBS itu bisa naik. padahal ada coorporate tax, PPN, lalu kenapa ditambah-tambah lagi?" lanjut Sahat.

Dia menerangkan, harga TBS di tingkat petani mengacu pada harga CPO internasional. Dengan peningkatan tarif bea keluar, harga TBS akan sulit untuk terkerek. Karenanya, Sahat mendorong agar Kemenkeu membatalkan penetapan tarif BK tersebut.

Selain kenaikan tarif BK CPO, pemerintah juga sedang menyusun penyesuaian tarif pungutan ekspor CPO. Hal ini dinilai memberatkan. Sebab, langkah tersebut akan membuat pengusaha berpikir untuk melakukan ekspor.

Padahal di saat yang sama, pemerintah mendorong agar aktivitas ekspor CPO bisa dipercepat. Tujuannya agar tangki-tangki yang menampung TBS bisa segera diolah dan diproduksi.

GIMNI, imbuh Sahat, mendukung betul upaya pemerintah mempercepat ekspor CPO. Namun dia meminta agar aturan-aturan ekspor itu tidak memberatkan. Dia juga memastikan kebutuhan 300 ribu ton CPO untuk minyak goreng dalam negeri bisa tercapai tiap bulannya.

Sebab, secara rerata produksi CPO per bulan mencapai 3,6 juta ton. Dengan ketentuan domestic market obligation (DMO) CPO yang sebanyak 300 ribu ton per bulan, maka diperkirakan diperlukan sebanyak 415 ribu ton CPO per bulan untuk kebutuhan dalam negeri.

Baca juga : Perusahaan dan Konsultan Konstruksi Serukan Gunakan Baja Sesuai SNI

"Kami menghitung hanya 415 ribu ton minyak sawit/CPO (untuk dalam negeri per bulan), karena 300 ribu ton itu kan untuk minyak goreng. Produksi kita per bulan 3,6 juta ton. Jadi tidak ada apa-apanya itu," jelas Sahat.

Pada Juni ini diprediksi produksi CPO dalam negeri akan berkisar 1,2 juta ton hingga 2 juta ton. 800 ribu ton CPO diantaranya akan diekspor, sedangkan sisanya digunakan untuk membanjiri kebutuhan dalam negeri. 

"Dengan demikian, tangki mulai berjalan lancar, harga TBS naik. karena harga di pasar luar negeri masih tinggi, jadi tidak ada alasan harga TBS ditekan. Tapi dengan PMK tadi, itu menekan, bukan PKS," kata Sahat.

Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 98/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan 39/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Dalam PMK itu, pemerintah menambah kelompok tarif bea keluar berdasarkan harga referensi CPO dan produk turunannya. Bila dalam PMK 39/2022 hanya ada 12 kelompok tarif BK, pada PMK 98/2022 kelompok tarif BK ditambah menjadi 17.

Sebelumnya kelompok tarif BK diatur berdasarkan harga referensi US$750 per ton hingga US$1.250 per ton. Melalui PMK baru, kelompok tarif BK diatur hingga harga referensi tertinggi mencapai US$1.500 per ton. Dengan demikian, bila harga referensi CPO internasional mencapai lebih dari US$1.500 per ton, maka tarif BK sebesar US$288 per ton, naik US$88 per ton dari ketentuan sebelumnya.

Adapun terkait dengan pungutan ekspor CPO, pemerintah juga telah menetapkan tarif sebesar US$375 per ton. Ketentuan itu diatur dalam PMK 23/2022 tentang Perubahan Ketiga atas PMK 57/2020 tentang Tarif Layanan Badan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kemenkeu.

Guna mendukung upaya percepatan ekspor, kata Sahat, GIMNI mendorong pemerintah membatalkan PMK tersebut dan mengembalikan tarif pungutan ekspor ke US$175 per ton. 

"Mengenai pungutan, lebih baik dikembalikan seperti semula saja. Itu supaya harga TBS bisa dinaikan. Kami mengharapkan, karena belum keluar, PMK untuk dana pungutan ekspor untuk diatur dikembalikan seperti semula dari US$375 ke US$175," tuturnya. (OL-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat