visitaaponce.com

Penghitungan Garis Kemiskinan tidak Harus Sama dengan Bank Dunia

Penghitungan Garis Kemiskinan tidak Harus Sama dengan Bank Dunia
Potret sejumlah anak bermain di kawasan permukiman kumuh di Jakarta.(Antara)

PENGHITUNGAN untuk mengukur tingkat kemiskinan di setiap negara berbeda dan tidak dapat dipukul rata. Metode yang digunakan terkait pemantauan jumlah penduduk miskin juga harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.

Hal itu ditekankan Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir saat dihubungi, Kamis (29/9). Pernyataannya merespons langkah Bank Dunia yang akan mengubah nilai untuk mengukur tingkat kemiskinan internasional.

"Metode perhitungan garis kemiskinan sangat tergantung kondisi suatu negara dan tidak selalu harus sama dengan Bank Dunia," ujarnya.

Diketahui, Bank Dunia akan menggunakan hitungan baru untuk mengukur tingkat kemiskinan. Sebelumnya, metode yang digunakan ialah Purchasing Power Parities (PPP) 2011. Lalu, dalam waktu dekat akan diubah menggunakan PPP 2017. 

Baca juga: Kenaikan Inflasi Pangan Berpotensi Kerek Kemiskinan

Sehingga, international poverty line (IPL) yang dipakai juga berubah dari US$1,90 menjadi US$2,15. Mengutip laman Bank Dunia, perubahan perhitungan itu akan membuat tingkat kemiskinan meningkat. Sebab, semua individu yang hidup kurang dari US$2,15 per hari akan dianggap hidup dalam kemiskinan ekstrem.

Garis kemiskinan yang lebih tinggi biasanya digunakan untuk mengukur kemiskinan di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah dan atas akan diperbarui. Rinciannya, dari US$3,20 (2011 PPP) menjadi US$3,65 (PPP 2017), lalu dari US$5,50 (2011 PPP) hingga US$6,85 (PPP 2017).

Kendati demikian, Bank Dunia menyebut PPP 2017 tidak secara substansial mengubah distribusi regional orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Dalam temuan data PPP 2017, kemiskinan ekstrem sedikit menurun sebesar 0,2 poin persentase menjadi 9,1%.

Baca juga: Bansos Jokowi Dinilai Jadi Solusi Atasi Persoalan Kemiskinan

Hal itu mengurangi jumlah masyarakat miskin ekstrem di tingkat sebesar 15 juta. Lebih lanjut, Iskandar menegaskan bahwa cukup banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung garis kemiskinan. Menurutnya, sulit bagi sebuah negara untuk mengukur garis kemiskinan dengan survei terhadap keseluruhan populasi.

"Berbagai negara mempunyai pendekatan masing-masing, termasuk Bank Dunia. Indonesia juga memiliki metode sendiri untuk menghitung garis kemiskinan, yang sebenarnya mirip dengan Bank Dunia. Nilainya bergerak ke atas, tergantung dari kenaikan biaya hidup akibat kenaikan harga," jelas Iskandar.

Dihubungi terpisah, Deputi bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Ateng Hartono menyatakan bahwa pihaknya masih menggunakan metode penghitungan yang serupa dengan PPP 2011, dengan nilai garis kemiskinan US$1,90 per hari. 

Baca juga: Pakai 'Data Spesial' untuk Pertajam Pengentasan Kemiskinan Ekstrem

Sebetulnya, penghitungan itu merupakan metode revisi yang baru dikeluarkan Bank Dunia pada April 2021. "Sementara, kita juga baru peralihan dari PPP yang lama, walau sama nilainya, yakni US$1,90, dengan PPP 2011 yang sudah direvisi," ungkap Ateng.

Terkait kemungkinan perubahan metodologi penghitungan garis kemiskinan, BPS akan melihat terlebih dulu keputusan Bank Dunia. Serta, menanti arahan pemerintah sebagai pengguna data. Pihaknya siap menjalankan fungsi untuk menghitung dan menyajikan data, yang mendukung pengambilan kebijakan.

"Kalau misalnya, Bank Dunia secara resmi sudah melakukan perubahan, kemudian di dalam rapat kementerian, karena BPS hanya menghitung saja, yang menggunakan adalah kementerian terkait," sambungnya.

Dirinya memastikan bahwa jika metode penghitungan garis kemiskinan berubah, BPS akan menyampaikan terlebih dulu kepada publik. Sebab, perubahan metode penghitungan tersebut otomatis akan menaikkan jumlah penduduk miskin di Tanah Air.(OL-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat