visitaaponce.com

Dengan Peta Jalan, Luwu Utara Targetkan Produksi Kakao Jadi 3 Ton Per Hektare

Dengan Peta Jalan, Luwu Utara Targetkan Produksi Kakao Jadi 3 Ton Per Hektare
Kakao(Antara/Wahdi Septiawan)

Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, merupakan daerah dengan penghasil kakao tertinggi di Sulsel bahkan di Indonesia. Sayangnya, 11 tahun terakhir, lahan kakao di Lutra berkurang sebanyak 10.835 hektare.

Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani pun mengakui, jika memang ada pengurangan lahan kakao di wilayahnya. Pengurangan lahan terjadi karena alih fungsi lahan, dan hilang akibat banjir seluas 1.800 hektare.

"Di Luwu Utara itu adanya kebun kakao rakyat. Dikelola langsung oleh rakyat. Dan dari 15 kecamatan yang ada di sana, ada tiga kecamatan dengan luas lahan terbesar, yaitu Sabbang, Sabbang Selatan, dah Malangke," aku Indah Putri, Rabu (19/10) pada Seminar Nasional Kakao Berkelanjutan di Makassar, Sulsel.

Di Lutra sendiri, ada dua lahan kakao, yaitu kakao agroforestri seluas 28.886 hektare dan kakao monokultur 11.926 hektare. Hanya saja dalam 11 tahun terakhir, kakao agroforestri, lahanya menurun sebanyak 27,9%.

Karenanya, produksi kakao di Luwu Utara pun hanya antara 0,06-0,09 ton per hektare, jauh di bawah produksi kakao Sulsel yang sebesar 0,59 ton per hektare. "Tapi kami menargetkan setelah adanya peta jalan kakao lestari Luwu Utara, kita yakin bisa mencapai target produksi antara 1,5-3 ton per hektare," kata Indah.

Itu, karena bersama Icraf Indonesia, Pemkab Lutra telah merampungkan peta jalan kakao lestari 2020-2025, sebagai bentuk komitmen dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengembangan kakao. Peta jalan terdiri dari skenario pembangunan, strategi, intervensi, dan indikator untuk mewujudkan visi Kakao Lestari, Rakyat Sejahtera.

Terdapat lima strategi yang telah disepakati dalam peta jalan kakao lestari, antara lain, alokasi dan tata guna lahan berkelanjutan, peningkatan akses masyarakat terutama petani kakao terhadap modal penghidupan, peningkatan produktivitas dan diversifikasi produk kakao, perbaikan rantai pasok yang berkelanjutan, dan insentif jasa ekosistem dari kakao berkelanjutan.

Mewakili Icraf Indonesia Beria Leimona mengungkapkan, dalam penyusunan peta jalan kakao ini melibatkan penta helix. Selain itu, semua ide dasarnya datang dari bawah atau botttom up. "Icraf berharap, semua kebijakan berbasis data yang kuat," ungkapnya.

Tentunya lanjut Beria, yang sangat digalakkan melalui monitoring dan evaluasi. Bagaimana kabupaten bisa berkontribusi terhadap wacana perubahan iklim, dan tuntutan konsumen dalam memilih produk berkelanjutan.

Ia menambahkan, Icraf memperkenalkan pengembangan kakao secara agroforestri. Dimana, petani juga bisa menanam durian, aren, hingga peternakan madu. Hal ini menjadi salah satu sistem pertanian agar petani bisa terbantu.

"Kalau hanya mengandalkan satu tanaman, ekonomi petani kita akan hancur ketika terjadi perubahan iklim. Karena itu, harus ada diversifikasi untuk menopang kehidupan ekonomi mereka menjadi lebih stabil," pungkasnya. (OL-12)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat