Sarang Walet dan Legen Kekinian dari Anak Bangsa
DENGAN latar belakang pendidikan teknologi pangan, Gabriella Permata Heru mengembangkan bisnis yang digeluti sang ayah sebagai pengepul sarang walet. Alih-alih mengekspor mentah, ia memilih jalur baru mengolah sarang walet menjadi produk akhir (end product).
Ia membuat merek Briellnest dengan produk minuman sarang burung walet siap minum. “Saya ingin produk lokal itu bisa dihargai. Sarang walet kan memang rata-rata dijual dalam bentuk mentah dan diekspor. Processing food-nya itu jarang di Indonesia. Setelah melihat bahan baku yang tersedia, kenapa tidak saya lakukan? Jadi saya terpacu untuk mengembangkannya,” kata Gabriella saat berbincang dengan Media Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (22/11).
Lebih lanjut, Gabriella menuturkan perjalanannya menemukan formula produk yang tepat. Ia meriset soal sarang walet dari berbagai jurnal ilmiah, kemudian menguji coba di laboratorium di Korea Selatan melalui jaringan yang dimilikinya semasa kuliah. Ia juga membandingkan dengan produk para kompetitor.
Modal awal Rp4,5 juta ia gunakan untuk pengembangan formula produk, kemasan, dan pemasaran. “Untuk bahan baku, aku ambil dari papa, karena dia pengepul sarang walet. Ya istilahnya itu juga bisa disebut pinjam modal, tapi dari bahan baku,” lanjut Gabriella.
Pada fase awal di medio 2020, Gabriella baru bisa memproduksi maksimal 30 botol minuman sarang walet siap minum, lalu meningkat ke 100 botol per harinya. Ia memulai pemasaran produknya itu dari mulut ke mulut di lingkaran pertemanan dan dilakukan secara organik.
Perlahan, bisnis yang awalnya cuma dijadikan penghasilan sampingan itu mulai mendapatkan pasar. Kesadaran akan kesehatan dan menjaga penampilan membuat produk minuman sarang walet Briellnest ini laku.
Dalam dua tahun, omzetnya pun meningkat pesat. Dari yang semula berada di angka Rp5 juta-Rp7 juta per bulan, pada 2022 ini Briellnest mampu membukukan omzet Rp300 juta-Rp500 juta per bulan, dengan rata-rata produksi 78 ribu botol per bulan dan rata-rata kemasan ukuran 200 mililiter.
Briellnest mengalokasikan bujet pemasaran hingga 30% dari omzet. “Dalam berbisnis itu kan ada banyak pilar, mulai dari distribusi, marketing, dan human resource, dan lainnya. Kami meminimalkan bujet distribusi agar pos marketing bisa lebih gede,” katanya.
Pemasaran yang dilakukan mengandalkan berbagai platform digital, dari iklan media sosial hingga endorsement ke pemengaruh (influencer). Terbaru, mereka menggunakan jasa afiliator di Tiktok, yang biasanya melakukan jualan langsung (live sale).
“Sejak Juli tahun ini, kami boost di Tiktok. Namun, semua channel memang harus dimanajemen dengan baik karena secara impak konkretnya, dengan mengandalkan multi-channel ini penjualan Briellnest stabil. Misal channel satu lagi turun, bisa manfaatkan channel lain, karena pada dasarnya tiap channel itu punya massa.”
Legen dari Tuban
Cerita lain datang dari Tuban, Jawa Timur. Kali ini dari Firman Subekti, pemuda asal Tuban, yang kini bermukim di Jakarta. Sejak kecil, ia sudah terbiasa minum legen (minuman yang diambil dari pohon lontar). Saat ia mencoba legen di Jakarta, ia sering merasa sakit perut.
Atas dasar itu, pada 2021, Firman menciptakan produk legennya sendiri yang didapat dari para petani lontar di Tuban. Seperti diketahui, air nira hanya bisa bertahan maksimal 2 jam di suhu ruang. Namun, Firman mampu membuat fermentasinya menjadi tahan lama. Ia pun menciptakan produk minuman bermerek Karukku dengan kemasan kaleng 330 mililiter yang mampu bertahan hingga tiga bulan.
“Inisiatifnya adalah untuk melestarikan komunitas petani lontar di Tuban. Selain itu, juga untuk melestarikan tradisi minum legen yang merupakan bagian dari minuman tradisi Indonesia. Sejauh ini, saya melihat distribusi minuman ini kurang baik, secara masa simpan juga tergolong singkat. Jadi kami mencoba mengembangkan formula fermentasi tanpa menambahkan bahan tambahan agar legen bisa didistribusikan ke lebih banyak orang,” kata Firman melalui sambungan telepon, Selasa (22/11).
Mulanya, Firman hanya memproduksi sekitar 10 botol sampel dan hanya meladeni pra-pesan. Kini, Karukku sudah diproduksi rata-rata 500-1.000 kaleng (ukuran 330 mililiter) per bulan. Kanal distribusinya mulai dari Instagram, lokapasar digital, hingga toko ritel modern di Jakarta.
Salah satu strategi yang diterapkan ialah menciptakan branding konsisten sehingga popularitas Karukku terus naik. Berbeda dengan Briellnest yang sudah cukup royal untuk mengeluarkan pos pemasaran, Karukku masih mengandalkan pemasaran dan kampanye digital secara organik.
Ia juga menetapkan konsep kewirausahaan sosial dengan meluncurkan NFT (non-fungible token). “Di Desember ini kami juga berencana meluncurkan NFT yang tujuannya, bagi para pemegang NFT Karukku punya kontribusi dalam penanaman pohon lontar, yang punya masa tumbuh atau siap panen itu butuh waktu 15 tahun,” lanjut Firman.
Ia mengaku media sosial aman penting karena membuatnya bisa menarasikan cerita produk itu. “Tanpa media sosial, sepertinya juga tidak akan tercapai narasi yang kami bawa ini ke banyak orang. Dan, dengan media sosial, kami juga bisa encourage orang untuk mencoba minuman legen.”
Kemudahan bagi UMKM daerah
Namun, baik Firman maupun Gabriella juga memiliki catatan pada ekonomi digital saat ini. Terlebih terhadap pemerintah yang memang punya fokus pada transformasi digital bagi para pelaku UMKM. Firman menganggap digitalisasi belum begitu menyentuh secara menyeluruh kepada para pelaku usaha lokal di daerah.
Di sisi lain, Gabriella menekankan bahwa perhatian pemerintah jangan hanya pada UMKM di Jakarta. “Kalau memang pemerintah itu bisa memberikan kemudahan untuk para UMKM mengakses sistem pendaftaran seperti izin, itu fasilitasi atau kemudahannya tolong yang benar. Maksudnya jangan ada lagi kesulitan yang ditemui para pelaku UMKM. Selain itu, jangan cuma terfokus pada pelaku UMKM yang ada di pusat (Jakarta), tapi juga harus melihat teman-teman UMKM di daerah, untuk dilibatkan di berbagai agenda pemerintahan maupun didukung,” kata Gabriella.
Di samping itu, Gabriella memberi kiat kepada para pengusaha lain agar menyadari pentingnya investasi terukur. “Di digital itu juga harus mau investasi besar agar hasilnya lebih besar, tapi tetap yang terukur,” ujarnya. (M-1)
Terkini Lainnya
Yuk ke HARRIS Bekasi, Ada Menu Bundling yang Menggugah Selera
Rasakan Keistimewaan Dining in Style di Swiss-Belresidences Kalibata
Daftar 5 Minuman yang Diklaim Dapat Picu Kenaikan Berat Badan, Benarkah?
10 Rekomendasi Minuman Sehat Agar Terbebas Dari Perut Buncit
Depresiasi Rupiah Pukul Industri Makanan dan Minuman
6 Rekomendasi Minuman Penghancur Lemak saat Tidur
Pelajar SMA Labschool Cirendeu Tangsel Bawa Misi Budaya ke Festival Internasional Polandia
Ada Sosok Aktris Dani Mukti di Balik Megahnya Pernikahan di Candi Borobudur
Cara Perkenalkan Bayi pada Bahan Herbal dengan Aman
Edukasi Siswa Cinta Budaya dengan Pagelaran Kolosal
Jamu Ternama Atasi Masuk Angin Dapat Penghargaan Indonesia Best Living Legend Brand 2024
Kunjungi Festival Pasir Padi, Promosikan Budaya dan Wisata Pangkalpinang
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Gerakan Green Movement Sabuk Hijau Nusantara Tanam 10 Ribu Pohon di IKN
Gandeng Benihbaik, Bigo Live Gelar Kampanye Dukung Yayasan Kanker Indonesia
Bantu Penyandang Penyakit Langka Cornelia de Lange Syndrome dengan Solo Cycling
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap