visitaaponce.com

Pengamat Soroti Polemik terkait Impor Beras

Pengamat Soroti Polemik terkait Impor Beras
Pengamat kebijakan publik Bambang Haryo Soekartono saat mendatangi langsung para petani.(Ist)

PENGAMAT Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menyoroti polemik impor beras yang diminta Perum Badan Urusan (Bulog) dengan dalih bahwa produksi panen beras petani sangat kurang, yang kemudian disanggah Menteri Pertanian yang mengatakan bahwa produksi beras petani cukup.

Pria yang juga akrab disapa BHS itu menilai bahwa hal tersebut sangat memalukan dan tidak lazim karena Bulog tidak biasanya mengusulkan impor beras secara nasional.

Pasalnya, lanjut dia, yang paling mengetahui kebutuhan beras dengan mempertimbangkan keseimbangan antara supply (produk pertanian) dan demand (konsumen beras) merupakan peran dari Kementerian Perdagangan.

Apalagi, Bulog secara nasional hanya bisa menyerap beras nasional sebesar 1,2 juta ton di 2021. Menurut dia, jumlah ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan serapan produksi beras nasional secara total yang jumlahnya mencapai 31,33 juta ton.

"Jadi Bulog hanya membeli beras petani nasional dan mengedarkan beras ke masyarakat tidak lebih dari 3% dari total beras yang diproduksi nasional, jadi serapan terbesar adalah dari swasta. Sehingga Dirut Bulog tidak pantas memberikan usulan impor dan informasi kepada Pemerintah, yang akhirnya menjadi salah informasi juga kepada publik karena ketidaktahuannya tentang produksi dan bahkan cadangan beras secara nasional," kata BHS yang juga anggota DPR RI periode 2014-2019 itu.

Ia menambahkan, serapan Bulog yang relatif sangat sedikit itu karena Bulog belum bisa secara profesional menyerap beras nasional, termasuk juga memasarkan beras nasional ke masyarakat. "Terbukti sebagian besar bahkan semua masyarakat Indonesia tidak berminat untuk membeli beras yang dipasarkan oleh Bulog," tegasnya.

Pria yang merupakan Dewan Pembina Gerakan Tani Rakyat (Getar) Pusat ini menyayangkan pernyataan Dirut Bulog yang juga meminta impor 500 ribu ton beras dengan anggaran sebesar Rp4,4 triliun dan mengatakan mereka rugi besar karena harus menjual beras impor dengan harga Rp8.300 per kilogram, sedangkan harga belinya Rp8.800 per kg dari Vietnam.

BHS menambahkan bahwa pernyataan kerugian Dirut Bulog tersebut adalah tidak masuk akal, karena harga beras di Vietnam yang sebenarnya hanya berkisar paling murah 5.800 Dong atau setara dengan Rp3.800 dan paling mahal 12.000 Dong (Rp7.900), dan bila pengiriman ditambah ongkos angkut plus keuntungan 15%, maka harga beras Vietnam sampai di Indonesia hanya ditambah 25%.


Baca juga: Jaga Ketahanan Domestik hadapi Perlambatan Ekonomi Global


"Disinyalir Dirut Bulog memberikan keterangan yang tidak benar dan cenderung mencari keuntungan yang terlalu besar di sela-sela masyarakat yang lagi kesulitan terutama petani nasional kita. Tentu ini sangat memberatkan masyarakat dan petani," tukas BHS.

Di sisi lain, ia juga mengaku sangat prihatin dengan pernyataan Mentan yang bisa memaklumi harga beras tinggi di Indonesia tanpa menganalisa penyebabnya dan bahkan menyarankan masyarakat mengonsumsi sagu sebagai pengganti beras.

Padahal, kata BHS, Mentan seharusnya malah mendorong peningkatan produksi beras nasional untuk bisa bersaing dengan negara lain seperti Vietnam, di mana Indonesia mempunyai lahan pertanian sebesar 70 juta hektare dengan lahan panen padinya sebesar 10,41 juta ha tetapi hanya menghasilkan beras nasional sekitar 31 juta ton per tahun, sedangkan Vietnam yang hanya mempunyai lahan pertanian sebesar 7,2 juta ha menghasilkan produksi beras 44 juta ton per tahun.

"Dan Vietnam bahkan bisa menjadi negara pengekspor beras nomor dua terbesar dunia di 2020, tetapi Indonesia tidak masuk dalam negara pengekspor beras peringkat 10 besar di dunia," terang BHS.

Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang didaulat sebagai Bapak Petani Sidoarjo ini pun menilai Mentan berusaha untuk mendengar keluhan petani, seperti sektor pengairan, kesulitan pupuk baik subsidi maupun nonsubsidi, benih, dan BBM subsidi serta pemasaran produk pertanian yang kurang mendapat sokongan.

Dia menjelaskan bila produksi wajar dengan lahan panen padi 10,4 juta ha yang per ha menghasilkan rata-rata 8 ton gabah dan bisa panen dua kali, serta keberpihakan pemerintah kepada petani cukup besar, maka seharusnya bisa menghasilkan 166,4 juta ton gabah atau setara dengan sekitar 90 juta ton beras yang dihasilkan per tahun.

Dengan kebutuhan masyarakat Indonesia setahun yang hanya berkisar 20-30 juta ton, masih akan tersisa 60 juta ton beras yang bisa kita ekspor ke negara lain seperti yang diinginkan Presiden Jokowi bahwa tidak perlu lagi impor beras dari luar negeri.

"Tentu harga beras kita pun akan menjadi semakin murah bila komponen biaya yang saat ini besar ditanggung oleh para petani bisa diselesaikan oleh Kementerian Pertanian sehingga beras di Indonesia tidak masuk dalam harga yang tertinggi di Asia Tenggara, yang menurut Data World Bank, adalah termahal di Asia Tenggara," pungkasnya. (RO/OL-16)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat