visitaaponce.com

Produsen Tempe Akui tidak Pernah Pakai Kedelai Lokal untuk Produksi

Produsen Tempe Akui tidak Pernah Pakai Kedelai Lokal untuk Produksi
Joko Asrori sedang merebus kedelai untuk dijadikan tempe.(MI/Andhika Prasetyo)

Perajin tempe sekaligus produsen keripik tempe Joko Asrori mengaku selama puluhan tahun menjalani bisnis, ia sama sekali tidak pernah menggunakan kedelai lokal sebagai bahan baku. Sulitnya memperoleh kedelai dalam negeri menjadi alasan utamanya.

“Saya dari 1983 tidak pernah pakai kedelai lokal. Kedelai lokal itu panen sekali, untuk kebutuhan tiga bulan ke depan juga tidak akan mencukupi,” ujar Joko saat ditemui di kediamannya di Keramat Pela, Jakarta Selatan, Kamis (25/5) pekan lalu.

Ia pun selalu mengambil kedelai impor, baik yang berasal dari Tiongkok, Amerika Serikat atau bahkan Argentina untuk keperluan produksi sehari-hari. Menurutnya, kedelai impor lebih bisa diandalkan karena memiliki keberlanjutan yang baik.

Baca juga: Sentra Keripik Tempe di Tengah Hiruk Pikuk Pusat Bisnis Jakarta Selatan

“Jadi barangnya ada terus. Kita tidak takut kehabisan,” tutur pelaku UMKM yang menjadi mitra binaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) itu.

Kendati demikian, terlalu bergantung pada produk luar negeri juga bisa menimbulkan persoalan besar. Seperti yang pernah ia alami saat masa awal pandemi covid-19 berlangsung yaitu 2020 silam.

Baca juga: Mengeruk Untung sekaligus Menyelamatkan Depok Kota Belimbing

Kala itu, banyak negara di dunia membatasi pergerakan orang dan barang demi mencegah masuknya virus mematikan tersebut ke negara mereka, tidak terkecuali negara-negara yang menjadi sumber impor bagi pelaku usaha tempe asal Indonesia.

Karena barang yang begitu terbatas di pasar, akhirnya harga kedelai naik tajam, dari semula Rp9.000 per kilogram menjadi Rp12.500 per kilogram.

Kondisi itu pun membuat Joko harus berpikir keras. Dengan biaya modal yang naik, ia terpaksa harus mengakali bisnisnya supaya bisa bertahan.

“Kalau untuk tempe, kita turunkan beratnya. Dari 1 kilogram menjadi 8,5 ons. Kita tidak bisa menaikkan harga kalau untuk tempe karena berisiko.  Konsumen jadi kaget. Naik Rp2.000 saja bisa berpengaruh,” jelasnya.

Sementara, untuk produk olahan yaitu keripik, ia berani menaikkan harga.

“Kalau keripik, mau tidak mau kita naikkan harga. Kalau dulu untung Rp10 ribu per kilogram, sekarang jadi Rp7.000 per kilogram, tidak apa-apa yang penting bisa bertahan,” tandas Joko.

Dalam kesempatan berbeda, Direktut Perbenihan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Yudi Sastro mengakui bahwa produksi kedelai di Tanah Air masih sangat minim bahkan terus menurun.

Pada 2017, Kementerian Pertanian mencatat produksi kedelai masih sebesar 538 ribu ton. Empat tahun berselang, yaitu pada 2021, produksi hanya tinggal 215 ribu ton.

“Indonesia sebagai negara tropis menjadi salah satu alasan mengapa tidak banyak petani yang menanam kedelai. Pasalnya tanaman kedelai sangat dipengaruhi musim. Kedelai sangat rentan gagal panen jika terkena banyak hujan,” terang Yudi.

Kendati demikian, berbagai upaya untuk mendongkrak produksi terus dilakukan. Yang terbaru, Kementerian Pertanian tengah menyiapkan teknologi untuk bisa menghasilkan benih unggul sehingga bisa memiliki daya tahan yang lebih baik.

Mereka juga tengah mengembangkan alat penyimpanan benih modern sehingga usia benih bisa bertahan jauh lebih lama saat masa penyimpanan.

Benih kedelai memang memiliki ketahanan yang singkat yakni hanya tiga bulan. Sementara, benih padi atau jagung bisa bertahan bahkan hingga satu tahun.

“Kementan tengah menyiapkan teknologi yang bisa digunakan untuk menyimpan benih kedelai dalam jangka waktu yang panjang. Inovasi baru harus terus kita komunikasikan. Misalnya ada yang memiliki temuan, bisa disampaikan. Itu nanti kita kaji, sehingga dari aspek regulasi bisa kita sesuaikan,” tandasnya. (Ant/Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat