visitaaponce.com

Melarang Medsos untuk Berjualan Dianggap Bukan Solusi Efektif

Melarang Medsos untuk Berjualan Dianggap Bukan Solusi Efektif
Ilustrasi berjualan di media sosial(123rf)

PEMERINTAH memutuskan melarang platform media sosial melakukan transaksi penjualan produk layaknya perniagaan elektronik (e-commerce). Hal itu diputuskan merespons maraknya penjualan secara daring di sosial media asal Tiongkok, Tiktok Shop. Namun, pelarangan dinilai tidak akan efektif.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyebut aturan pemisahan tak akan memiliki taji karena algoritma di Tiktok Shop bisa digunakan di Tiktok sebagai media sosial. Menurutnya, praktik pemisahan aplikasi biasa terjadi dan tidak ada batasan penggunaan data pada aplikasi sister untuk kepentingan aplikasi utama.

"Yang harus dikejar adalah Tiktok harus ada izinnya sebagai social commerce. Praktik social commerce pun sudah jamak dilakukan dan sudah ada sejak zaman Kaskus dan sebagainya. Jadi saya pribadi melihat hal tersebut bukan solusi yang efektif," ucap Nailul ketika dihubungi, Senin (25/9).

Baca juga : Indonesia Ancam Cabut Ijin Usaha TikTok

Mengutip BPS, imbuhnya, ada empat platform yang sering digunakan UMKM untuk berjualan daring dengan urutan paling banyak digunakan yaitu instant messenger, media sosial, e-commerce/marketplace, kemudian website.

Baca juga : Permendag Direvisi, Sosial Media tidak Boleh Melakukan Transaksi Penjualan Produk

Kecenderungan tersebut, menurutnya, menunjukkan media sosial memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM dengan urutan nomor dua terbanyak. Urutan tersebut menurutnya merupakan anak tangga bagi UMKM untuk bisa go digital. Dimulai dari penggunaan instan messenger seperti Whatsapp dengan jangkauan terbatas, kemudian pindah ke media sosial seperti IG, FB, Tiktok kemudian mulai ke marketplace atau e-commerce dan pada akhirnya bisa punya website pribadi.

"Jadi jika sosial media dilarang untuk berjualan, itu memutus satu step UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah. Yang seharusnya dilakukan adalah mengatur social commerce ini agar bisa setara dengan e-commerce ataupun pedagang offline," ujarnya.

"Sehingga pada akhirnya tercipta level playing field yang setara diantara pelaku penjualan ini. Selain itu, proteksi produk lokal dengan memperketat produk impor dan pemberian disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal," imbuhnya.

Dia berpendapat social commerce sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur sebatas interaksi atau hingga jual.

Seharusnya, kata dia, ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsipnya sama-sama berjualan menggunakan internet. Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce.

"Pada 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ," tambahnya.

Dia menyarankan aturan yang hendak dikeluarkan sebaiknya memasukkan detail pengaturan social commerce untuk disetarakan dengan e-commerce mulai dari persyaratan administrasi hingga perpajakan untuk melindungi UMKM dan produk lokal.

Di antaranya melakukan tag-ing barang impor. Setelah itu, dua hal bisa dilakukan yakni memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya administrasi lebih tinggi serta tidak boleh mendapat promo dari platform.

"Di sisi lain, memberikan insentif berupa promo ke produk lokal. Menyediakan minimal 30% etalase platform untuk produk lokal. Produk-produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan sebagainya," tukasnya. (Z-8)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat