visitaaponce.com

Tahun Politik, Pemerintah tidak akan Naikkan Harga Pertalite-Solar

Tahun Politik, Pemerintah tidak akan Naikkan Harga Pertalite-Solar
Sejumlah pengendara motor antre untuk mengisi BBM subsidi jenis Pertalite di salah satu SPBU, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.(Antara/Arif Firmansyah.)

DIREKTUR Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpandangan pemerintah tidak ingin mengambil risiko menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) penugasan (JBKP) pertalite dan jenis BBM Tertentu (JBT) solar karena sudah memasuki tahun politik di 2023. Meski tren harga minyak dunia merangkak naik di atas US$90 per barel, Komaidi meyakini pemerintah tidak mengambil kebijakan yang kurang populis dengan penaikan harga BBM subsidi. 

Sampai saat ini pertalite masih bertengger di harga Rp10.000 per liter dan solar dengan Rp6.800 per liter. "Di tahun politik, opsi menaikkan harga BBM subsidi terlalu sensitif. Pemerintah enggan mengambil risiko itu. Menjaga harga BBM subsidi menjadi prioritas pemerintah saat ini," ujar Komaidi saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (1/10).

Menurutnya, penting bagi pemerintah menjaga daya beli masyarakat lantaran kenaikan harga BBM subsidi dapat memicu tingginya kenaikan inflasi. Dari data Pertamina di 2022, 80% BBM subsidi dinikmati masyarakat kalangan menengah atas. "Pemerintah akan berupaya tetap menjaga daya beli masyarakat dengan tidak perlu menaikkan BBM subsidi, cuma konsekuensinya anggaran subsidi semakin besar," jelasnya.

Baca juga: Izin Terbit, Kereta Whoosh Siap Beroperasi Komersial

Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2024, belanja subsidi jenis BBM tertentu mencapai Rp25,7 triliun di tahun depan. Angka itu meningkat 10,3% dibandingkan 2023 dengan Rp23,3 triliun.

Ia menambahkan imbas keputusan pemerintah yang tidak menaikkan harga BBM subsidi di tengah lonjakan harga minyak dunia ialah beban usaha yang akan ditanggung Pertamina semakin berat. Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diketahui harga asli pertalite sebesar Rp11 ribu per liter. 

Baca juga: Harga Emas Melemah Dibayangi Prospek Kenaikan Suku Bunga AS

Itu berarti Pertamina harus menanggung selisih Rp1.000 per liter. Sedangkan di 2022, Pertamina juga harus menanggung selisih harga jual solar sebanyak Rp7.800 per liter. "Dampaknya, kalau pemerintah tidak konsisten menutup selisih ke Pertamina, cash flow perusahaan itu akan bertambah berat," kata Komaidi.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan BBM subsidi pertalite tidak ikut terkerek di tengah kenaikan harga minyak dunia. Namun demikian, seiring dengan penaikan harga BBM nonsubsidi, diperkirakan masyarakat yang meminum pertalite akan semakin bertambah. "Enggak naik (pertalite). Kita sudah lihat BBM yang nonsubsidi sudah pada naik tuh. Ini nanti mendorong pemakaian pertalite kan. Kita imbau supaya jangan masuk ke sektor subsidi," tegas Arifin di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (15/9)

Pelebaran defisit APBN

Kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan akan ada pelebaran defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), apabila harga minyak dunia pada tahun depan secara rata-rata berada di rentang US$90-US$100 per barel. Saat ini asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) sebesar US$82 per barel. Pemerintah, kata Josua, harus menanggung defisit Rp6,5 triliun dari setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar US$1 per barel. Ini disebabkan oleh lebih besarnya kenaikan belanja pemerintah sebanyak Rp10,1 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pendapatan pemerintah yang hanya sebesar Rp3,6 triliun.

"Maka, defisit dapat diperkirakan meningkat sebesar Rp52 triliun–Rp117 triliun. Deviasi yang cukup besar ini akan berpengaruh pada pelebaran defisit APBN," ungkapnya saat dihubungi terpisah. 

Josua melihat harga minyak mentah global ke depan masih relatif tinggi, sejalan dengan pemotongan produksi dari Arab Saudi dan Rusia. Namun, katanya, kecil kemungkinan untuk bisa menembus harga di atas US$100 per barel.

"Hal ini karena AS dolar yang masih berpotensi menguat saat ini, sejalan dengan The Fed yang masih hawkish, sehingga akan menekan harga minyak. Lalu, ada pelemahan ekonomi Tiongkok berpotensi menurunkan permintaan minyak mentah," pungkasnya. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat