visitaaponce.com

Perilaku Konsumtif Penyubur Pinjaman Online

Perilaku Konsumtif Penyubur Pinjaman Online
Ilustrasi judi daring(Dok.MI)

HASRAT untuk memenuhi perilaku konsumtif menjadi salah satu sebab tumbuh suburnya pinjaman online (pinjol) ilegal. Generasi milenial dan Z digadang menjadi pupuk subur geliat pinjol ilegal di Tanah Air.

Sematan baru bagi dua generasi yang cakap menggunakan teknologi itu saat ini ialah generasi gemar berutang namun enggan membayar. Akibatnya, utang menumpuk, tagihan tak terbayar, dan di beberapa kasus ada yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sarjito mengatakan, kondisi tersebut tak melulu terjadi karena lebarnya jarak antara tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan masyarakat.

Baca juga: Menkominfo Usulkan Pajak Judi Online, Pakar Hukum: Bertentangan dengan Aspek Agama

Faktor penting namun sering diabaikan ialah kemampuan masyarakat untuk bisa menahan diri. "Karena kemudahan (pinjol), mudah aksesnya, data yang kita peroleh, ternyata tujuan pinjol ini bukan lagi untuk hal produktif, melainkan konsumtif. Ini lebih dari 50%, dan ini sangat berbahaya" kata Sarjito dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk Pinjol: Solusi atau Masalah?, Rabu (4/10).

Data itu pun, lanjut dia, hanya terekam dari perusahaan pinjol yang berizin dari OJK. Dia meyakini jumlah pinjol saat ini cukup besar bila dihitung dengan pinjaman yang berasal dari pinjol ilegal.

Baca juga: Ngaku Dibayar Rp16 Juta, Amanda Manopo Klaim tak Tahu Promosikan Judi Online

Padahal, lanjut Sarjito yang juga Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Keuangan Ilegal OJK itu, bunga pinjaman yang diberikan oleh pinjol relatif tinggi, yakni di kisaran 0,4%-0,8% per hari. Angka tersebut merupakan tingkat bunga yang dimiliki oleh pinjol legal.

Selain tak bisa menahan diri, generasi muda saat ini menurutnya juga sering kali gegabah. Keputusan untuk menarik pinjaman tak disertai dengan kalkulasi kemampuan membayar.

Bahkan ada yang justru sengaja membabat habis aplikasi pinjol ilegal untuk menarik pinjaman namun tak membayar tagihan utangnya. "Ini fakta, ada seseorang pinjam 40 pinjol ilegal. Katakanlah dia tau kemampuan finansial hanya Rp2 juta per bulan. Dengan kesadaran itu, dan melakukan peminjaman di 40 aplikasi, itu dasarnya sudah pasti tidak bagus," urai Sarjito.

Di kesempatan yang sama, Staf Ahli bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya Menteri Komunikasi dan Informatika R. Wijaya Kusumawardhana mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk memberantas pinjol ilegal yang kerap meresahkan masyarakat.

Apalagi didapati terdapat korelasi yang relatif tinggi antara pinjol ilegal dengan judi online.

"Fintech atau pinjol ini sangat erat dengan pelaku judi. Karena begitu mereka gagal (kalah judi), mereka cari sumber pembiayaan yang cepat. Ini bukan hanya di Indonesia pelakunya, ada juga di luar karena ini sifatnya lintas batas," terang dia.

Secara umum, kata Wijaya, Kemkominfo telah menerima laporan atas 7.836 rekening terkait pinjol ilegal yang ada dalam sistem blacklist kementerian. Dalam dua bulan terakhir, sebanyak 492 permintaan penanganan pinjol ilegal di beragam sosial media dari OJK telah dilakukan.

"Jumlah ini bisa lebih besar di lapangan. Tiap pelaku, karena ini online, dia bisa menggunakan metode lain, menempel situs resmi, membuat laman baru," tuturnya.

 

Konsumen Dilindungi Hukum

Sementara itu, Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Ambeg Paramarta menyampaikan, sedianya konsumen pinjol dilindungi oleh hukum. Karenanya, masalah-masalah penagihan yang kerap mencuat di publik dapat diproses hukum.

"Banyaknya indikasi pelanggaran hukum seperti penggunaan data pribadi tanpa izin, misalnya, ini secara tegas diatur dalam UU ITE," terangnya.

"Kemudian terkait penipuan, terror, ancaman, ini merupakan tindak pidana yang juga diatur dalam KUHP, baik yang lama maupun yang baru yang berlaku di 2026. Penagihan intimidatif itu juga diatur di pasal 368 KUHP, penyebaran data pribadi diatur dalam pasal 48 UU ITE," lanjut Ambeg.

Dus, sedianya pengaturan-pengaturan mengenai tindakan yang marak dilaporkan pengguna pinjol telah diatur di banyak peraturan perundang-undangan. Hanya, lanjut Ambeg, persoalannya ialah dari sisi penegakan hukumnya.

Dia menuturkan perlu ada kajian dan diskusi yang lebih mendalam terkait pelanggaran-pelanggaran hukum, utamanya yang dilakukan pinjol pemberi pinjaman. Itu karena penyelenggaraan pinjol telah diatur oleh OJK.

Sedangkan sanksi pelanggaran dari penyelenggaran pinjol diatur dalam Undang Undang 4/2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan. Produk hukum itu memperberat sanksi bagi pelaku aktivitas keuangan ilegal di sektor jasa keuangan.

Sebelum adanya UU PPSK, penanganan aktivitas keuangan ilegal hanya terbatas pada penutupan usaha. Jalur hukum dapat ditempuh bila ada masyarakat yang merasa dirugikan dan menjadi korban dari aktivitas tersebut.

Namun dalam UU sapu jagat sektor keuangan itu, sanksi bagi pelaku aktivitas keuangan ilegal diperberat. Selain kegiatan usahanya ditutup, pelaku usaha dari aktivitas keuangan ilegal itu mesti mengembalikan kerugian kepada korbannya.

Bila pengembalian hak korban tidak dapat dipenuhi, maka pelaku aktivitas keuangan ilegal tersebut terancam pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp1 triliun. Namun bila pelaku dapat mengembalikan hak korban, maka hukuman pidana dapat dipertimbangkan kembali. Dus, hukuman pidana menjadi pilihan terakhir dari pengenaan sanksi. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat