visitaaponce.com

Target Ekonomi dan Transisi Energi Dapat Beriringan

Target Ekonomi dan Transisi Energi Dapat Beriringan
Ilustrasi transpotasi: Headway LRT Jabodetabek(MI/Susanto )

INDONESIA terus mencari titik tengah dan relevan agar pertumbuhan ekonomi bisa terakselerasi di saat upaya peralihan energi dilakukan. Sebab keduanya bersinggungan dan perlu segera untuk dicarikan solusinya.

Demikian disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin dalam Focus Group Discussion Pemetaan Dekarbonisasi Indonesia Menuju Net-Zero, Jumat (10/11).

"Pekerjaan rumah bagi kita di Indonesia adalah bagaimana kita (ekonomi) bisa tumbuh dengan mengurangi karbon secara intensif," ujarnya.

Baca juga: LPS : Agar Ekonomi Tidak Resesi, Konsumsi Harus Didorong

Pasalnya, Indonesia yang masih berstatus negara berkembang membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Guna mengejar pertumbuhan itu, sektor industri dijadikan andalan agar ekonomi bisa melaju pesat.

Namun sektor industri merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Dengan kata lain, dorongan untuk menggeliatkan industri akan berdampak pada upaya pengurangan emisi yang dilakukan.

Baca juga: DPR Khawatirkan Kinerja Perekonomian Indonesia

Rachmat mengatakan, sekitar 40% profil karbon Indonesia berasal dari ketenagalistrikan. Kemudian 23% berasal dari sektor transportasi, 23% lainnya dari industri, dan sisanya berasal dari rumah tangga.

"Jadi perlu dicari bagaimana kita bisa me-dekarbonisasi industri kita? Dan juga, bagaimana kita dapat memanfaatkan megatren pembangunan rendah karbon untuk membangun perekonomian baru di Indonesia," terangnya.

 

Industri Manufaktur Sumbang 40% dari Total Karbon

Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CoRE) Mohammad Faisal menuturkan, bila dilihat lebih dalam industri manufaktur turut menyumbang 40% dari total karbon yang dihasilkan industri. Kenyataan itu kian menantang lantaran industri pengolahan bakal menjadi andalan untuk menumbuhkan perekonomian nasional.

Karenanya, pemerintah mesti jeli melihat secara rinci industri manufaktur apa yang akan didorong geliatnya. Ini penting karena di saat yang sama Indonesia memiliki banyak komitmen terkait transisi energi.

"Harus melihat industri manufaktur mana yang sebenarnya memberikan kontribusi terbesar terhadap emisi gas rumah kaca dan kita harus melihat yang terbesar seperti industri makanan dan minuman serta industri kimia dan juga tekstil dan lainnya," jelas Faisal.

Namun terdapat inisiatif yang bisa didorong agar industri bisa tetap tumbuh sejalan dengan upaya mencapai komitmen energi bersih nasional. Sejumlah perusahaan tekstil di Indonesia diketahui telah menerapkan produksi dengan sumber daya yang efisien dan bersih.

Faisal tak memungkiri hal itu dilakukan dengan pendanaan atau modal yang besar. Namun menurutnya itu akan jauh lebih efisien ketimbang terus mengandalkan energi fosil dalam proses produksi.

Dari studi yang dilakukan, sebuah perusahaan tekstil berskala besar membutuhkan investasi sebesar US$4,7 juta untuk menggunakan energi bersih dalam proses produksi. Namun dengan penggunaan energi bersih itu, perusahaan dapat menghemat biaya operasional produksi hingga US$2,7 juta setiap tahunnya.

"Jadi investasi di muka adalah US4,7 juta, tetapi setiap tahun mereka dapat mengurangi biaya sebesar US$2,7 juta dan di saat yang sama, mereka juga bisa meningkatkan produksi serta mengurangi emisi gas rumah kaca," terang Faisal.

"Jadi memang yang pertama investasi di mukanya besar tapi kalau kita lihat biaya operasionalnya di tahun-tahun setelahnya menurut saya akan lebih efisien dan idealnya untuk mengurangi atau memperkecil harga," sambungnya.

Sementara itu Penasihat Senior United National Development Programme (UNDP) Verania Andria mengatakan, keseimbangan antara mengejar pertumbuhan ekonomi dan menurunkan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan bersamaan. Itu dapat dilakukan selama semua pihak memiliki komitmen dan tujuan yang sama.

"Modalitas apa yang mendukung yang perlu ada?. Maka semua faktor pendukung harus ada, kebijakan, institusi, tindakan menuju sosial, lingkungan, dan ekonomi yang berkelanjutan. Jadi ketiganya harus bersama," tutur dia.

Implementasi termudah yang dapat dilakukan ialah melalui pendekatan Environmental, Social, and Corporate Governance (ESG) pada tiap perusahaan. Alih-alih menjadikan ESG sebagai pemanis, pelaku industri harus bisa menjadikan ESG sebagai bentuk pertanggungjawaban ekonomi dan lingkungan. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat