visitaaponce.com

Serapan Belanja Rendah Menahun, tak Sehat untuk Perekonomian

Serapan Belanja Rendah Menahun, tak Sehat untuk Perekonomian
Ilustrasi(Antara )

RENDAHNYA serapan belanja negara dan pemerintah daerah jelang tutup buku tahun anggaran menjadi isu menahun yang terjadi di Indonesia. Padahal dua komponen tersebut dapat menjadi pemantik bagi geliat perekonomian dalam negeri.

"Ini adalah permasalahan siklus belanja tiap tahun, di mana pada Desember itu baru realisasinya didorong cukup tinggi. Itu merupakan cara yang kuno, cara yang sebenarnya tidak sehat bagi perekonomian," ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhisthira saat dihubungi, Jumat (24/11).

Tak semestinya pemerintah pusat dan daerah menahan belanja dan menunggu akhir tahun untuk menghabiskannya. Apalagi, sebagian dana tersebut berasal dari kantong masyarakat yang dipungut melalui pajak dan pungutan wajib lainnya.

Baca juga: Defisit Anggaran Diyakini Rendah Hingga Akhir Tahun

Harusnya uang tersebut segera diputar dan dikembalikan ke masyarakat melalui belanja yang produktif dan bermanfaat. Dengan begitu, uang negara dapat memberikan dorongan pada perekonomian secara menyeluruh.

Bhima menilai, lambatnya serapan belanja di tingkat pusat maupun daerah terjadi karena lemahnya perencanaan. Banyak keinginan pembuat rencana program memasukkan hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan. "Hasilnya, itu masih menyisakan alokasi (dana) yang cukup besar di akhir tahun," kata dia.

Baca juga: Menkeu Sri Mulyani: Kondisi Ekonomi Indonesia Lebih Baik dari Negara Lain

Penghambat penyerapan belanja di tingkat daerah juga kerap kali disebabkan oleh gemarnya pemda memupuk dana di perbankan. Padahal semestinya pemda tak mengharapkan pendapatan dari bunga simpanan bank, melainkan segera merealisasikan anggaran untuk kebutuhan masyarakat.

Selain itu, permasalahan koordinasi lintas sektoral juga dapat menjadi biang keladi lemahnya serapan belanja. Anggaran perlindungan sosial, misalnya, terbagi ke dalam beberapa kementerian/lembaga dan pemda. Koordinasi yang lemah menyebabkan realisasi tak dapat berjalan dengan baik.

"Ada kehati-hatian yang berlebihan juga. Padahal sudah ada pengawasan dari Kemenkeu, BPK, BPKP, KPK, Kejaksaan dari awal, tetapi bagi sebagian pelaksana teknis masih ada kekhawatiran mempercepat penyaluran anggaran akan berakibat pada penyimpangan anggaran atau maladministrasi. Jadi mereka khawatir dikriminalisasi karena percepatan pencairan anggaran," jelas Bhima.

Padahal belanja pemerintah memiliki kontribusi sekitar 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Dikhawatirkan jika penyerapan belanja yang lambat tersebut terus dibiarkan, perekonomian tak mendapatkan dorongan yang optimum untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi.

"Belanja pemerintah kan punya porsi sekitar 10% terhadap PDB, jadi porsinya bisa menurun dan pertumbuhan triwulan IV ini sangat penting untuk bisa terjaga di atas 5% pertumbuhan tahunan," kata Bhima.

"Jadi kalau pertumbuhan di triwulan IV rendah, konsumsi rumah tangga melambat karena inflasi pangan sedang naik, ada event pemilu yang membuat investasi wait and see, maka implikasinya pun juga akan ada pertumbuhan yang relatif lambat secara tahunan. Jadi harus dibantu oleh percepatan serapan dari pemerintah pusat dan daerah," pungkasnya. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat