visitaaponce.com

Fenomena Makan Tabungan Harus Jadi Perhatian Serius

Fenomena Makan Tabungan Harus Jadi Perhatian Serius
Fenomena makan uang harus diwaspadai(Antara)

Fenomena makan tabungan (dissavings) yang terjadi di kelas menengah saat ini mesti menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Pasalnya itu dapat memengaruhi optimisme masyarakat menengah terhadap kondisi perekonomian, baik di skala individu maupun menyeluruh.

Hal itu diungkapkan Kepala Organisasi Riset Tata Kelola, Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus Eko Nugroho. "Fenomena ini harus tetap menjadi perhatian karena berpotensi menurunkan optimisme bagi para kelas menengah kita," ujarnya saat dihubungi, Kamis (4/1).

Kelas menengah, lanjutnya, perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah. Stimulus fiskal dan peningkatan pelayanan menjadi hal yang paling relevan untuk membantu masyarakat kelompok menengah yang sejauh ini tampak dianaktirikan dari dukungan kebijakan.

Baca juga: Hampir 7 dari 10 UMKM Andalkan Modal Bisnis dari Tabungan, Keluarga dan Teman

Agus mengatakan, insentif atau stimulus yang spesifik ditujukan untuk mendorong peningkatan daya beli dan potensi akumulasi tabungan bagi kelas menengah menjadi hal penting. Setidaknya ada tiga kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah.

Pertama, insentif pajak penghasilan untuk pendidikan dan kesehatan. Kedua, insentif dan kemudahan akses KPR, khususnya first-home buyer dan insentif pembiayaan renovasi rumah layak. Ketiga, kemudahan untuk pembiayaan atau akses pada pension fund, terutama untuk pekerja mandiri dan kontrak.

Baca juga: Cara Mudah ke Tanah Suci dengan Tabungan Umrah Jejak Imani

Dukungan bagi kelas menengah dirasa perlu, selain fenomena makan tabungan yang terjadi, kelompok yang mendominasi di struktur ekonomi itu kerap mengalami tekanan. Tekanan datang akibat stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan diperburuk dengan krisis akibat pandemi covid-19.

"Ketidakstabilan ekonomi dan stagnasi pertumbuhan ekonomi di angka sekitar 4% 5% dan kontraksi perekonomian akibat pandemi covid-19 memberikan tekanan pada penurunan daya beli kelompok ini," tutur Agus.

Kemampuan daya beli yang tertekan itu tak diikuti dengan peningkatan pendapatan yang berarti. Akibatnya, masyarakat kelas menengah hanya memiliki opsi untuk menyedot dana tabungan guna memenuhi kebutuhan hidup.

Apalagi belakangan ini harga-harga kebutuhan hidup mengalami kenaikan dan seolah telah mencapai pada keekonomian baru. Belum lagi adanya potongan pajak yang secara tak langsung turut menggerus kemampuan daya beli masyarakat kelas menengah.

"Dengan situasi seperti ini, kelas menegah kita akan sulit mendapatkan kumulasi tabungan karena akan tertekan oleh kebutuhan konsumsi sekunder dan tersier, di samping pengeluaran untuk cicilan pokok dan bunga pinjaman, seperti KPR dan kredit konsumsi lainnya," jelas Agus.

Namun dia meyakini tekanan yang dihadapi oleh kelas menengah Indonesia saat ini tak akan menyeret hingga kerusuhan maupun krisis baru. The Chilean Paradoks yang terjadi pada 2019 dinilai hanya memiliki peluang kecil terjadi di Indonesia.

Hal itu dikarenakan konstruksi perekonomian Indonesia berbeda dengan Cile yang terkonsentrasi di sektor migas. Selain itu, permintaan dan pasar domestik masih cukup kuat, sehingga masih memberikan ruang investasi yang besar bagi asing maupun dalam negeri.

"Optimisme ini akan memperkuat pasar tenaga kerja cukup terbuka dan menjanjikan kesempatan kerja yang cukup besar," kata Agus.

Dihubungi terpisah, Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) I Dewa Gede Karma Wisana mengatakan, fenomena dissavings akan menjadi potensi masalah yang serius jika tak direspons dengan baik oleh pemerintah.

Fenomena makan tabungan itu juga perlu dilihat lebih dalam guna mengetahui kelompok menengah mana yang mengalami hal tersebut. "Apakah mereka kelompok yang ada di dekat garis kemiskinan (near poor) atau bukan. Karena untuk yang bukan near poor tidak bisa 'diintervensi' langsung melainkan dikelola ekspektasinya. Pastikan bahwa layanan-layanan publik yang biasa dikomplain mereka mereka agar ditindaklanjuti dan diperbaiki," terang Dewa.

Hal yang paling mungkin dan dapat segera dilakukan pemerintah ialah dari sisi kebijakan perpajakan. Jika fenomena makan tabungan juga diikuti dengan penurunan pendapatan, maka ada potensi resistensi pembayaran pajak dari kelompok masyarakat tersebut.

"Penting untuk melakukan advokasi dan pelayanan pajak yang simpatik agar tidak kehilangan potensi penerimaan. Hanya dengan penerimaan pajak yang baik, maka pemerintah kemudian bisa membuat kebijakan-kebijakan fiskal yang sifatnya 'transfer' untuk meredam penurunan pendapatan tersebut," kata Dewa.

"Ada cukup banyak sebenarnya kebijakan pemerintah yang eksisting dan bisa menjadi peredam dari penurunan pendapatan tersebut, namun isunya adalah akurasi target yang perlu ditingkatkan. Dalam hal, strategi perbaikan dan penyempurnaan data para penerima bantuan pemerintah tetap perlu terus dilakukan," pungkasnya. (Z-10)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat