visitaaponce.com

Menteri LHK Siti Nurbaya Pastikan Pedagangan Bursa Karbon Transparan dan Akuntabel

Menteri LHK Siti Nurbaya Pastikan Pedagangan Bursa Karbon Transparan dan Akuntabel
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya(MI/Susanto)

SEJAK dibukanya Bursa Karbon pada September 2023, perdagangan karbon terus bergulir dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya terus memperkuatnya melalui sejumlah kebijakan, regulasi, maupun kelengkapan pendukung lainnya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan logo sertifikasi penurunan emisi Indonesia (SPEI) sendiri merupakan jaminan kualitas dan integritas karena menggunakan Skema SPEI yang diselenggarakan secara transparan, akurat, lengkap, konsisten, dapat diperbandingkan dan mengutamakan integritas lingkungan. 

Skema SPEI diatur melalui SK Menteri LHK Nomor 1131/MENLHK/PPI/PPI.2/10/2023 tentang Skema Sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia.

Baca juga : Demi Cuan, Indonesia bakal Jadi Tempat Penyimpanan Karbon Negara Lain

”Guna menjamin Skema SPEI diselenggarakan dengan transparan, akurat, lengkap, konsisten, dapat diperbandingkan dan mengutamakan integritas lingkungan salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membentuk Tim Measurement, Reporting dan Verification (MRV) serta Panel Metodologi”, terang Siti di Jakarta, Senin (22/1).

Tim tersebut dibentuk melalui SK Menteri LHK No 1444/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2023, salah satu tugas utama tim MRV adalah melakukan tinjauan akhir atas hasil validasi dan verifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Validasi dan Verifikasi yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. 

Baca juga : Potensi Bursa Kabon Terbuka Lebar, Tercatat 71,95 Persen Belum Terjual

Sedangkan Tim panel Metodologi antara lain bertugas membatu Tim MRV dalam mengidentifkasi, menghimpun dan mengkaji metodologi penghitungan emisi GRK.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan SPEI, dibutuhkan sebuah sistem yang terhubung satu sama lain agar implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di tingkat nasional dapat disinergikan.

"Dengan adanya kerja sama antara KLHK dan KESDM mengenai berbagi pakai antara Sistem Registrasi Nasional PPI (SRN PPI) dan APPLE GATRIK, diharapkan dapat mewujudkan penguatan tata kelola  satu data Emisi Gas Rumah Kaca melalui interaksi dan/atau bagi pakai antara SRN PPI dan APPLE Gatrik", jelas Siti.

"Dengan adanya bagi pakai tersebut diharapkan dapat menyinergikan program dan kegiatan KLHK dan KESDM dalam rangka implementasi perdagangan karbon dalam tata laksana penerapan NEK di subsektor pembangkit tenaga listrik", lanjutnya. 

Penerapan NEK sendiri dimaksudkan untuk membantu pencapaian target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yaitu pengurangan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,20% dengan bantuan internasional.

Pemerintah telah mendorong upaya pencapaian NDC melalui beberapa regulasi antara lain Perpres 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan NEK untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dan Pembangunan Nasional, Permen LHK No. 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan NEK, Permen ESDM No. 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan NEK Sub Sektor Pembangkit Tenaga Listrik, Permen LHK No. 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, Peraturan OJK No. 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon, dan SE OJK No. 12 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon, dan peraturan lainnya.

Hingga saat ini, beberapa langkah awal telah ditunjukkan dengan adanya bursa karbon yang telah menghasilkan unit karbon yang berkualitas sebesar 494.254 ton CO2e dengan nilai transaksi sebesar Rp. 30.907.269.559 dari yang diperoleh dari transaksi 26 pengguna jasa. “Transaksi perdagangan karbon pada Bursa Karbon, sedang terus diikuti perkembangannya dan dipelajari berkenaan dengan terutama pelaku transaksi,” imbuh Siti.

Selain itu pada mekanisme NEK melalui skema RBP atau Pembayaran Berbasis Kinerja, selain itu pada Indonesia juga telah menerima RBP dari program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), periode 2014-2016 dari Green Climate Fund (GCF), sebesar USD 103,8 juta untuk pengurangan emisi sebesar 20,25 juta tCO2e.

Demikian pula perolehan dari hasil Result Based Contribution (RBC) kerjasama RI dan Norway sebesar USD 156 juta untuk pengurangan emisi sebesar 31,2 juta tCO2eq, periode 2016 – 2017 dan periode 2018-2020. Juga dari FCPF yang mencakup USD 100 juta untuk 22 Juta ton CO2eq serta Bio-CF yang mencakup USD 70 Juta untuk 14 Juta CO2eq. Dengan demikian aktivitas melalui skema RBP atau RBC untuk saat ini telah mencapai tidak kurang dari 384, 8 juta USD sampai Januari 2024 dan akan mencapai 454, 8 Juta USD pada 2025. Ini belum termasuk catatan kontribusi lain di BPDLH melalui agenda filantropi. Seluruh agenda RBP masuk dan dikelola melalui BPDLH. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat