visitaaponce.com

Energi Baru Terbarukan Berjalan Jika Ekonomi dan Sektornya Tumbuh

Energi Baru Terbarukan Berjalan Jika Ekonomi dan Sektornya Tumbuh
Warga melintasi area panel tenaga surya yang terpasang di kawasan Peta Area Terdampak (PAT) lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.(Antara/Umarul Faruq.)

PERUBAHAN energi konvensional ke energi baru terbarukan (EBT) tidak akan jalan jika ekonominya tidak tumbuh. Pada saat yang sama, sektor energinya harus bertumbuh. 

"Sektor listrik juga tidak akan tumbuh kalau ekonomi tidak tumbuh. Kalau listrik tidak tumbuh, sektor lain juga tidak tumbuh. Untuk itu the way of thinking and the way of action kita harus berubah," kata Tumiran dari Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar UGM, dalam Seminar Kebangsaan & Business Talks dengan tema Mengeksplorasi ESG Transformation, Green Energi dan Technology yang Memberikan Dampak Positif bagi Bisnis dan Ekonomi Bangsa Indonesia, Jakarta, Selasa (23/1/2024), yang digelar Pertaabi atau Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia.

Dia melanjutkan, konsumsi energi Indonesia masih rendah, rata-rata per kapita hanya menghabiskan Rp150 ribu per bulan. Tidak heran target pemerintah dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 (RUPTL) bahwa porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23% pada 2025 sulit terwujud. Berdasarkan pencapaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2022 dari Kementerian ESDM, bauran EBT masih jauh dari target, yakni baru 14,11%. Karenanya, target mencapai 2.500 KWH masih jauh untuk diraih pada 2025. 

Baca juga: Izin Pembangunan Smelter Bakal Diperketat

"Kita harus dorong pengembangan teknologi, meningkatkan daya saing produk domestik, keunggulan informasi, meningkatkan ekspor, dan memperbaiki investasi ke peranan nasional. Sektor industri menjadi penggerak untuk ekonomi kita supaya tumbuh, agar konsumsi listrik terdorong bertumbuh," terang Tumiran. Transisi energi sangat bergantung pada regulation and empowerment, edukasi dan kemampuan kapital, teknologi, finance and investment di industri ini. 

Pada kesempatan yang sama, Jaya Wahono dari Kadin menuturkan dalam pengembangan EBT, semua wilayah harus merasakan efek bertumbuh, bukan saja di Pulau Jawa. "Dalam upaya itu, kami berpartisipasi dalam meningkatkan pemahaman, terutama meningkatkan kesadaran bahwa perubahan iklim yang berpengaruh pada bisnis ke depan. Jangan sampai kepedulian kita tidak memberikan bukti nyata," tandasnya.

Kerangka pembangunan rendah karbon terus digaungkan Kadin dalam upaya mendukung target pemerintah mewujudkan konsumsi EBT 2.500 KWH di 2025. "Target EBT 23% kita masih jauh untuk dicapai di 2025. Ini pekerjaan rumah kita bahwa dulu targetnya tidak realistis dan langkah konkretnya kurang, tidak bisa hanya sebatas protes, seharusnya kita mengambil langkah lebih bergegas untuk berubah. Tidak bisa lagi bergantung pada energi fosil saja, dengan mendorong EBT," tegas Jaya. 

Baca juga: Realisasi Investasi Triwulan IV 2023 Raup Rp365 Triliun. Capai Target?

Jaya yang juga memiliki bisnis hijau ini berpendapat mestinya bioenergi menjadi prioritas Indonesia. Elektrifikasi roda dua menjadi kebijakan yang tepat. Nilai BBM dari sepeda motor setiap hari Rp7 triliun, jika disubsidi ke listrik dapat menghemat energi, menciptakan tenaga kerja, dan tercapai lingkungan lebih baik. Potensi besar juga penerapan di alat berat," ujarnya.

Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Edi Wibowo menyoroti ketergantungan terhadap impor, mengakibatkan defisit neraca perdagangan dan kemungkinan krisis energi. "Mampukah kita menyediakan energi dari dalam negeri, bukan tergantung pada impor? Karena pengelolaan energi berhadapan dengan Trilema Energi (tiga dilema energi) di negeri ini," kata Edi. 

Salah satunya ialah ketahanan energi terkait tantangan upaya penyediaan energi dengan memperhatikan rantai pasok sumber dalam dan luar negeri serta permintaan yang terus meningkat. Kedua, ekuitas energi terkait tantangan dalam penyediaan akses dan terjangkaunya energi untuk semua orang. Ketiga, lingkungan berkelanjutan berarti pembangunan infrastruktur berbasis energi terbarukan dan sumber energi rendah karbon lain serta peningkatan efisiensi energi baik dari sisi supply maupun demand.

Walau demikian, Edi mengungkapkan sebenarnya biaya investasi untuk pembangunan pembangkit listrik EBT, khususnya PLTS dan PLTB (termasuk biaya integrasi) lebih murah dan dapat bersaing dengan PLTU 800 MW yang sudah ada. Biaya O&M (operation & maintenance) pembangkit listrik EBT juga relatif rendah. Pengurangan pajak dan retribusi penggunaan sumber daya alam dapat menjadi insentif alternatif untuk harga listrik EBT yang lebih kompetitif. "Kerja sama dan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pengembangan sumber daya manusia, diperlukan untuk mencapai transisi energi yang adil dan memenuhi Tujuan Mitigasi Perubahan Iklim," ujarnya. 

Dengan segala tantangan itu, ada catatan manfaat ekonomi program biodiesel. Menurut Edi, kita telah menghemat devisa pada 2023 sebesar Rp122,54 triliun, peningkatan nilai tambah (CPO menjadi biodiesel) sebesar Rp15,82 triliun, dan penyerapan tenaga kerja lebih dari 11 ribu orang (off-farm) dan 1,5 juta orang (on-farm). Roadmap pengembangan kendaraan listrik di Indonesia hingga Juni 2023 mencapai 72 ribu kendaraan listrik dengan rincian 17 ribu kendaraan roda empat dan 80 ribu kendaraan roda dua. Dari sini, kita bisa menghemat energi 29,79 TWh dan penurunan emisi sebesar 7,23 juta ton CO2.

Dia juga mengungkapkan sejak 2013 jumlah perusahaan yang melaksanakan manajemen energi terus mengalami peningkatan yang semula 15 perusahaan menjadi 242 perusahaan pada 2022. Penghematan energi yang diperoleh mencapai 20,46 TWh dan berkontribusi menurunkan emisi GRK sebesar 11,7 juta ton CO2. (RO/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat