visitaaponce.com

IHSG Tertekan Seiring Memanasnya Tensi Pemilu

IHSG Tertekan Seiring Memanasnya Tensi Pemilu
Ilustrasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).(MI/Adam Dwi)

INDEKS Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah turun selama 3 minggu berturut-turut. Situasi dan kondisi yang mulai memanas akibat kenaikan tensi Pemilu 2024, hanya menambah ketidakpastian dari dalam negeri.

"Ini membuat pelaku pasar dan investor menjadi gelisah meski sejauh ini masih dalam batas toleransi," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus, Senin (29/1).

Dari dalam negeri, data PMI Manufacturing dan inflasi menjadi pusat perhatian pada tanggal 1 Februari. Namun pergerakan inflasi yang sudah di level rendah tidak terlalu memberikan dampak terhadap pergerakan pasar setidaknya untuk saat ini.

Lagipula jarak antara inflasi dan tingkat suku bunga memang sudah terlalu jauh, sehingga tidak ada yang perlu dirisaukan. Namun meningkatnya tensi pemilu akan memberikan mendorong IHSG untuk terjatuh lebih dalam pekan ini, apabila tensi masih terus berlanjut.

"Secara jangka pendek kami melihat tekanan masih akan dalam, namun secara jangka menengah hingga panjang pada tahun 2024, IHSG masih ada harapan," kata Nico.

Baca juga: IHSG Awal Pekan Berpeluang Volatile Jelang Rilis Inflasi Domestik

Dia meminta untuk pelaku pasar memerhatikan saham-saham yang memiliki fundamental dan potensi valuasi di masa yang akan datang.

"Alasannya apabila saham-saham tersebut terkoreksi, maka merupakan sebuah kesempatan untuk membeli. Begitupun dengan imbal hasil obligasi yang masih berpotensi naik hingga di atas 6,7% yang bisa menjadi kesempatan," kata Nico.

Sedangkan dari sentimen global, indikator ekonomi Amerika Serikat pekan ini akan rilis data Change in Nonfarm, Private, dan Manufacture Payrolls yang diproyeksi mengalami penurunan.

Dari sisi ketenagakerjaan, Unemployment rate AS diproyeksikan tetap atau naik sebanyak 0,1 – 0,2% yang berdampak positif apabila naik. Begitupun dengan upah ketenagakerjaan secara bulanan (MoM) maupun tahunan (YoY) diproyeksikan tetap.

Namun dari antara itu semua, pertemuan bank sentral AS The Fed pada tanggal 1 Februari 2024 akan mencuri perhatian meski tingkat suku bunga Fed Rate diproyeksikan tetap.

Baca juga: Pemilu yang Kondusif Diharapkan Kerek IHSG ke 7.700

Pernyataan Gubernur Bank Sentral AS The Fed Jerome Powell terkait dengan langkah selanjutnya untuk potensi jadi atau tidaknya penurunan tingkat suku bunga lebih awal, akan mendorong pasar global mengalami kenaikan. Apalagi inflasi sejauh ini dapat dikatakan mulai stagnan, dan belum kembali mengalami penurunan.

Eropa, data pertumbuhan ekonominya diperkirakan menyentuh 0% dan mencuri perhatian, apakah perekonomian mereka berpotensi resesi atau tidak. Meski membuat khawatir, tapi data inflasi Eropa diperkirakan turun dari 3,4% menjadi 3,1% - 3,3% (YoY) dan 2,9% menjadi 2,6% – 2,8% (MoM). Data angka pengangguran/ Unemployment Rate Eropa juga diproyeksikan tetap.

Dari Jepang, data Jobless Rate dan Job to Applicant Ratio menjadi data penting setelah sebelumnya data inflasi di Jepang membuat pelaku pasar dan investor kecewa pasalnya Tokyo Consumer Price Index (CPI) secara tahunan (YoY) mengalami penurunan dari 2,4% menjadi 1,6%, dan Tokyo Core CPI turun dari 3,5% menjadi 3,1%.

Penurunan inflasi Jepang yang cukup dalam merupakan yang pertama kalinya dalam 1,5 tahun terakhir. Ini akan mempengaruhi pandangan Bank Sentral Jepang terhadap inflasi. Selain itu, inflasi inti juga turun, dan merupakan level terlemah sejak Maret 2022, karena penurunan biaya energi yang semakin dalam dan kenaikan harga akomodasi.

Alhasil banyak yang meragukan Bank Sentral Jepang akan meninggalkan negative ratenya pada April 2024, setelah data inflasi mengalami pelemahan.

"Jangan terlena dengan persepsi dan ekspektasi akan penurunan atau kenaikan tingkat suku bunga yang lebih awal, karena pada kenyataannya data berkata lain yang membuat pengambilan keputusan akan berjalan lebih sulit," kata Nico.

Inflasi Membayangi

Di sisi lain, ayang-bayang inflasi yang tinggi masih menghantui. Sejak akhir tahun 2023 hingga saat ini sedang terjadi konflik yang memanas di Timur Tengah dan juga perekonomian yang belum stabil di beberapa negara.

Hal ini yang mengganggu dan menurunkan ekspor dari dalam

negeri. Konflik di Timur Tengah menyebabkan gangguan rantai pasok sehingga tarif logistik meningkat dan pengiriman barang harus memutar melewati Tanjung Harapan, Afrika Selatan untuk menghindari wilayah Laut Merah.

"Waktu pengiriman logis bertambah 10 hari dan ongkos meningkat 15%. Komoditas ekspor yang terganggu antara lain adalah baju, komponen elektronik, sepatu, kebutuhan rumah tangga, furniture, dan 67 komponen turunan CPO atau minyak sawit," kata Nico.

Di sisi lain, perekonomian beberapa negara yang pemulihannya belum maksimal menjadi terganggu dengan adanya masalah tersebut, contohnya Tiongkok yang merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar Indonesia.

Oleh karenanya saat ini pemerintah telah berdiskusi dengan 12 negara yang berpotensi menjadi negara tujuan ekspor baru serta juga memanfaatkan kerjasama yang telah terjalin dengan kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dan negara-negara OECD.

Selain itu, pemerintah juga telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) peningkatan ekspor sesuai dengan Kementerian Presiden Republik Indonesia (Keppres) no. 24 tahun 2023.

Koordinasi juga dilakukan dengan Kementerian dan Lembaga serta asosiasi seperti, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

"Para pelaku pasar berharap, Indonesia mampu bertahan di tengah terpaan badai ketidakstabilan perekonomian dan geopolitik global di tahun ini agar mampu menjaga harapan akan tahun pemulihan di tahun 2024," kata Nico.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat