visitaaponce.com

Bank Indonesia Pelemahan Rupiah karena Faktor Eksternal

Bank Indonesia: Pelemahan Rupiah karena Faktor Eksternal
Ilustrasi(Antara)

NILAI tukar rupiah sejak awal tahun melemah pada kisaran Rp15.700-15.800 per dolar AS. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo tidak menampik hal tersebut, dan mengatakan tekanan lebih disebabkan faktor eksternal karena secara fundamental mendukung penguatan rupiah.

Perry jelaskan bahwa perkembangan harga apapun baik inflasi maupun nilai tukar selalu dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu supply dan demand, serta kabar ekonomi global yang memberi sentimen.

Nilai tukar, kata Perry, secara fundamental semestinya menguat. Sebab dari fundamental, neraca perdagangan Indonesia terus menerus.

Baca juga : Inflasi Pangan Bergejolak, Menkeu: Fokus Pemerintah Jaga Daya Beli

"Surplus neraca perdagangan berarti lebih banyak valasnya dari ekspor. Lalu, pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi rendah  dan imbal hasil SBN, dan juga indeks saham baik. Jadi ini faktor-faktor fundamental yang semestinya rupiah menguat," kata Perry, usai paparan hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Selasa (30/1).

Tetapi, dalam jangka pendek, memang ada faktor kabar dari global dalam dua minggu terakhir yang menekan nilai tukar, tidak hanya rupiah tetapi mata uang seluruh dunia.

Baca juga : Pertahankan Suku Bunga, BI Dinilai Berkomitmen pada Stabilitas Rupiah

Pasar kemarin memperkirakan tingkat suku bunga AS Fed Fund Rate (FFR) akan turun pada kuartal I dan II. Tetapi kemudian data-data terakhir rapat dewan gubernur Bank Sentral AS The Fed (FOMC meeting) memutuskan tidak buru-buru menurunkan FFR, karena ekonomi AS masih tumbuh bagus dan inflasi inti AS juga belum turun di bawah sasaran.

"Jadi pasar yang tempo hari memprediksi Fed Rate segera turun, rupanya data-data dan juga pernyataan FOMC meeting kemungkinan belum akan turun semester I-2024. Kami monitor dalam minggu ini nanti statementnya seperti apa," kata Perry.

Faktor berita ini yang kemudian membawa indeks dolar AS yang sebelumnya sudah melemah ke 102, kembali naik 102 di atas 103.

"Sehingga seluruh mata uang di dunia melemah tidak terkecuali rupiah," kata Perry.

Selain itu, eskalasi tensi geopolitik di Timur Tengah dan juga di Laut Tiongkok juga menyebabkan gangguan pasokan. Demikian juga kebijakan regulator Tiongkok, supaya pasar saham mereka tidak merosot, maka menghentikan peminjaman saham tertentu, tidak boleh lagi soft-selling.

Berita-berita itu yang membuat tekanan seluruh mata uang dunia meningkat, termasuk rupiah.

Mengantisipasi faktor jangka pendek ini, langkah intervensi yang Bank Indonesia lakukan yaitu menstabilkan pergerakan nilai tukar rupiah, dan menggiringnya untuk lebih menguat sesuai fundamental.

Bank Indonesia mengintervensi di pasar valas untuk supaya stabil di pasar tunai atau spot, memastikan rupiah stabil dan ke depan trennya menguat.

Untuk mengatasi outflow aliran dana asing, Bank Indonesia membeli SBN yang dijual asing di pasar sekunder. Tujuannya agar likuiditas rupiah tetap stabil, da memberikan kepastian kepada investor asing.

Teknisnya, ketika Bank Indonesia menjual valas, BI mensuplai valas dari cadangan devisa. Dampaknya, rupiah masuk. Lalu supaya likuiditas rupiah keluar lagi, BI membeli SBN yang dijual asing. Sehingga likuiditas rupiah bertambah di pasar.

Perry menjabarkan istilahnya sterilized intervention atau intervensi valas yang disterilisasi, supaya dampak likuiditas rupiah tidak berdampak ke stabilitas sistem keuangan. Jadi likuiditas tetap terjaga supaya perbankan tetap menyalurkan likuiditas melalui kredit.

"Secara keseluruhan tahun ini Bank Indonesia sudah membeli SBN termasuk dari pasar sekunder senilai Rp 8,8 triliun. Ini bagian kami bersama Menteri Keuangan berkoordinasi, bersama-sama menstabilkan ekonomi, moneter, dan sistem keuangan," kata Perry. (Z-4)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat