visitaaponce.com

Inflasi AS Membebani Mata Uang di Asia Secara Luas

Inflasi AS Membebani Mata Uang di Asia Secara Luas
Ilustrasi inflasi(Dok. Freepik)

DALAM perdagangan akhir pekan Jumat (15/3), mata uang Rupiah ditutup melemah 19 poin di level Rp15.599 dari penutupan sebelumnya di level Rp15.580. Untuk perdagangan Senin mendatang, nilai tukar Rupiah diperkirakan fluktuatif namun kemungkinan ditutup melemah direntang Rp15.570--Rp15.660. Beberapa faktor dari eksternal yang mempengaruhi, pertama, data indeks harga produsen Amerika Serikat (AS) lebih kuat dari perkiraan untuk bulan Februari 2024.

"Angka tersebut muncul setelah data indeks harga konsumen yang lebih kuat dari perkiraan yang dirilis awal pekan ini, yang juga menunjukkan inflasi semakin menjauh dari target tahunan Federal Reserve sebesar 2%," kata Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, Sabtu (16/3).

Angka inflasi AS yang lebih tinggi terjadi tepat sebelum pertemuan Fed minggu depan, di mana bank sentral diperkirakan oleh pasar, akan mempertahankan suku bunga Fed Fund Rate. Inflasi AS tercatat sebesar 3,2% (yoy) pada Februari, naik 0,4%.

Baca juga : Kenaikan BI Rate Dinilai Belum Perlu

The Fed kini berpotensi menawarkan sikap yang lebih hawkish (bertahan/ pengetatan) terhadap suku bunga, ini berlawanan dari sebelumnya, mengingat kemarin mereka berulang kali mengisyaratkan penurunan suku bunga pada tahun 2024 sebagian besar akan ditentukan oleh jalur inflasi.

"Prospek kenaikan suku bunga jangka panjang membebani mata uang Asia secara luas," kata Ibrahim.

Dari domestik, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia (NPI) pada Februari mengalami surplus US$0,87 miliar. Sedangkan secara kumulatif, neraca perdagangan mencapai US$2,87 miliar. Walaupun terjadi surplus, namun NPI turun US$6,42 miliar dibandingkan periode yang sama Januari-Februari 2023.

Baca juga : The Fed Naikkan Suku Bunga ke Level Tertinggi. Prediksi Nilai Tukar Rupiah?

Sedangkan, surplus neraca perdagangan Indonesia Februari 2024 terutama berasal dari sektor nonmigas tercatat US$2,63 miliar, namun tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$1,76 miliar.

Sementara itu nilai ekspor nasional pada Februari 2024 mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Ekspor Indonesia turun menjadi US$19,31 miliar atau 5,79% (month-to-month/mtm) dibandingkan Januari 2024. Ekspor migas tercatat US$1,22 miliar atau turun 12,93%, dan nilai ekspor non migas turun 5,72% menjadi US$18,09 miliar.

Penurunan ekspor pada Februari 2024 didorong oleh penurunan ekspor non migas, utamanya pada komoditas besi dan baja (HS72) dengan andil penurunan sebesar 3,26%. Selanjutnya, lemak dan minyak hewani nabati (HS15) dengan andil penurunan sebesar 2,60%, serta logam mulia dan perhiasan permata (HS71) dengan andil penurunan sebesar 0,60%.

Baca juga : Inflasi Amerika Serikat masih Tinggi, Rupiah Melemah

Kemudian, penurunan ekspor non migas di dorong oleh penurunan nilai ekspor gas.

"Tercatat komoditas ini memberikan andil penurunan sebesar 1,58%. Secara tahunan, nilai ekspor Februari 2024 mengalami penurunan 9,45%. Sementara itu, pada periode yang sama nilai impor Indonesia Februari 2024 mencapai US$18,44 miliar, turun 0,29% dibandingkan Januari 2024," kata Ibrahim.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat