visitaaponce.com

Dua Investor Proyek Nikel Cabut, Indef Hilirisasi Tambang RI Dipaksakan

Dua Investor Proyek Nikel Cabut, Indef: Hilirisasi Tambang RI Dipaksakan
Ilustrasi: foto udara aktivitas smelter nikel(ANTARA FOTO/Jojon)

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat hengkangnya dua investor asal Eropa dari proyek pemurnian nikel di Maluku Utara karena hilirisasi industri tambang Indonesia dipaksakan berjalan, padahal memiliki seabrek masalah.

Mulai dari mengesampingkan praktik pertambangan berkelanjutan hingga pengoperasian fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan berlaku.

"Kita tahu hilirisasi nikel Indonesia ini dibangun dengan penuh pemaksaan tanpa memperhatikan kaidah lingkungan dan keberlanjutan," tuding Nailul kepada Media Indonesia, Kamis (27/6).

Baca juga : Menaker: Industri Smelter Nikel Berhasil Ciptakan Lapangan Kerja Baru

Dia menuturkan banyak perusahaan yang belum menerapkan praktik sustainable and good mining practice atau praktik penambangan yang benar dan baik. Selain itu, masih banyak pabrik pengolahan nikel yang dikatakan masih mengandalkan tenaga listrik berbasis batu bara.

"Banyak pabrik yang masih menggunakan pembangkit listrik tenaga kotor atau fosil yang justru merusak lingkungan. Belum lagi berbicara mengenai pencemaran air baik air sungai, tanah, dan laut," katanya.

Nailul mengatakan dengan melihat masalah tersebut, hilirisasi nikel yang dibangun di Tanah Air dianggap belum memenuhi standar dan dipaksakan berjalan oleh pemerintah. Tidak heran, lanjut ekonom Indef itu, investor asing seperti perusahan kimia terbesar asal Jerman, Badische Anilin und Sodafabrik (BASF) dan perusahaan pertambangan dan metalurgi asal Prancis, Eramet, batal berinvestasi dari proyek Sonic Bay di Maluku Utara.

Baca juga : 2 Investor Eropa, BASF dan Eramet Hengkang dari Proyek Nikel di Maluku

"Langkah BASF dan Eramet sangat mungkin ditiru oleh perusahaan besar lainnya," tegasnya.

Dihubungi terpisah, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menduga mundurnya dua investor Eropa dari proyek nikel di Maluku Utara karena iklim investasi pertambangan di Indonesia kurang kondusif. Hal ini karena faktor stabilitas ekonomi dan politik.

"Dan juga karena faktor politik yang mempengaruhi kepastian hukum yang berujung pada tidak kondusifnya iklim investasi di Indonesia," imbuhnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mendesak pemerintah untuk evaluasi tata kelola industri smelter supaya tidak merugikan banyak pihak dan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Pasalnya, dengan adanya tren penurunan harga jual nikel dianggap dapat memukul pelaku usaha.

"Dengan merosotnya harga nikel ini, tentu memukul pelaku usaha di sektor komoditas ini. Selain itu, operasional smelter juga jangan dilakukan ugal-ugalan. Ini mesti dievaluasi," pungkasnya. (Ins/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat