visitaaponce.com

Pemerintah Dinilai tidak Serius Tangani Urusan Pangan

Pemerintah Dinilai tidak Serius Tangani Urusan Pangan
Petani menabur pupuk ke tanaman padi berumur 18 hari di Sidomulyo, Sawahan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur (13/5/2024).(Antara/Siswowidodo)

GELAGAT pemerintah yang menjadikan perubahan iklim sebagai alasan gagalnya swasembada pangan tak dapat dibenarkan. Semestinya itu memacu upaya dan melecut keinginan pengambil kebijakan untuk berbuat lebih, alih-alih berserah dan terus menyalahkan keadaan.

Apalagi perubahan iklim tak hanya dirasakan Indonesia. Semua negara di muka bumi menghadapi persoalan yang sama. Akan tetapi, tak sedikit negara yang berhasil mengamankan urusan pangan untuk kepentingan dalam negeri. Bahkan, beberapa di antaranya mampu memasok pangan ke negara lain.

Peneliti dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Eliza Mardian mengatakan, pemerintah seharusnya bisa belajar dari banyak negara yang berhasil melakukan swasembada pangan. Tiongkok, misalnya, pada 2023 berhasil meningkatkan produksi padi meski dilanda kekeringan hebat dan jumlah luasan penanaman mengalami penurunan.

Baca juga : Kotawaringin Timur Siap Jadi Penyangga Pangan IKN

Itu karena pemerintah di Negeri Tirai Bambu menjadikan urusan pangan sebagai prioritas negara. Di sektor pertanian, Tiongkok menerapkan teknologi adaptif dan berdaya tahan terhadap kekeringan. Tata kelola irigasi juga didesain dengan baik sehingga memainkan peranan krusial.

"Persoalan pangan di Indonesia tidak pernah diurus secara serius. Sektor pertanian pendekatannya dengan menitikberatkan pada kesejahteraan small scale farmer, bukan korporasi. Sebab jika korporasi, petani tetap menjadi buruh," kata Eliza.

Pembelajaran bagi pemerintah juga sebetulnya dapat dipetik dari El Nino tahun lalu. Ketika produksi beras secara nasional anjlok, di beberapa daerah justru mengalami peningkatan produksi lantaran harga gabah mengalami kenaikan.

Baca juga : Mentan Optimis Pertanian Indonesia akan Kembali Swasembada

Titik itu, kata Eliza, mestinya menyadarkan pengambil kebijakan bahwa kepuasan dan kesejahteraan petani juga penting untuk mendorong peningkatan produksi. "Jadi jika ingin swasembada pangan, yang pertama kali mesti diutamakan ialah kesejahteraan petani," tuturnya.

Selama ini, imbuh dia, program-program yang ada tidak membuat petani bisa mandiri dan mampu berinovasi untuk ekspansi. Hal itu juga tak luput dengan masalah kepemilikan lahan yang terbatas.

Setidaknya, 51% rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Sementara kebijakan sektor pertanian saat ini masih belum berpihak pada kesejahteraan petani. Petani lahan sempit dengan luas kurang dari 0,5 hektare di tahun lalu bertambah 2,8 juta rumah tangga dibandingkan 2013.

Baca juga : Program Bantuan Pangan Belum Berjalan, Stok Beras Bulog Capai 1.457 Juta Ton

Dus, total petani lahan sempit di 2023 mencapai 16,89 juta rumah tangga petani atau setara 62% dari total rumah tangga petani. Lahan yang sempit dan kurangnya penerapan teknologi ini tidak dapat mencapai skala keekonomian dan mendorong peningkatan kesejahteraannya petani.

"Dengan kepemilikan lahan yang sempit, petani harus mendapatkan tambahan income dari nonpertanian untuk memenuhi penghidupannya," tutur Eliza.

Padahal sektor pertanian merupakan tiga besar mesin pertumbuhan ekonomi nasional setelah manufaktur dan perdagangan. Manufaktur yang belakangan lesu dan perdagangan yang tengah dihujani impor diprediksi memberikan kontribusi terbatas pada perekonomian dalam waktu dekat.

Baca juga : Program Pompanisasi Kementan Menjadi Solusi untuk Tantangan Petani di Jateng

Dengan kata lain, pengambil kebijakan mestinya sadar bahwa tumpuan perekonomian saat ini berada di sektor pertanian. Sayangnya, sektor pertanian pun tak kalah memprihatinkan dari manufaktur dan perdagangan.

Minimnya kesadaran pentingnya sektor pertanian juga dapat dilihat dari ketimpangan pada aspek penelitian dan pengembangan. Ekosistem pengembangan sektor pertanian terbilang masih cukup lemah dan tak terhubung dari hulu hingga ke hilir.

Penelitian dan pengembangan sektor pertanian seyogianya tak terbatas pada penerbitan jurnal dan temuan berbentuk paper semata. Implementasi dari penelitian itu amat diperlukan untuk mendorong terciptanya pangan berkualitas.

Penyuluh pun tak bisa berbuat banyak. Lantaran saat ini satu penyuluh mesti menangani dua desa. Karenanya sektor pertanian tampak berjalan tempat, bahkan mengalami kemunduran. Karenanya, Eliza meminta pemerintah merangkul banyak pihak untuk memperkuat sektor pangan dalam negeri.

"Ini untuk melakukan transfer of knowledge dan memberikan ruang kepada petani untuk mereka menjadi subjek dari penelitian dan pengembangan. Petani juga mesti dilibatkan aktif dalam penelitian dan pengembangan, jangan hanya menerima jadi produk inovasi," pungkasnya. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat