visitaaponce.com

Menjaga Sistem Merit dalam Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi

Menjaga Sistem Merit dalam Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi
(Dok. Pribadi)

LANGKAH Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengumpulkan 239 pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, menarik untuk dikaji, dalam perspektif adminstrasi publik. Pengisian jabatan ini, selain berimbas pada banyak hal, juga berbasis merit ternyata mengalami hambatan, baik dari sisi kebijakan maupun penatalaksanaannya. 

Seleksi terbuka, merupakan amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014, tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Proses pengisian jabatan pimpinan tinggi ini merupakan satu bagian dalam manajemen ASN yang berdampak strategis bagi organisasi birokrasi, maupun pemerintahan, yaitu menjaga sistem merit. 

Sistem merit, diartikan Berman, dkk (2006) sebagai proses rekrutmen, promosi, penghargaan, dan hukuman yang adil, dan teratur berdasarkan kualifikasi, kinerja, dan seleksi kompetitif, yang dinilai para ahli. Tujuan penerapan sistem merit, menurut UU ASN ialah untuk memastikan jabatan di birokrasi pemerintah diduduki orang-orang yang profesional, dalam arti kompeten, dan melaksanakan tugas berdasarkan nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN.

 

 

Alasan dan hambatan seleksi terbuka

Beberapa kajian menyebutkan bahwa selain untuk menjaga profesionalisme kerja, seleksi ini juga dapat mencegah intervensi politik dalam penentuan pejabat akibat politik balas budi saat pilkada dan mendorong mobilitas pegawai melalui peningkatan karier yang terbuka, agar bisa bekerja di instansi lainnya--pusat dan daerah. (Prasojo, 2013). 

Tujuannya ialah mencari orang yang terbaik--paling mampu, paling tepat, paling berprestasi-- dengan cara yang sistematis, transparan, dan menantang. (McCrudden, 1998) 

Hasil kajian yang dilakukan oleh Prasojo, dkk (2015), di empat pemprov serta Ali (2018) di dua pemprov, menemukan beberapa masalah dalam pelaksanaan seleksi terbuka ini. Antara lain, faktor kultur ketimuran, yaitu anggapan bahwa jabatan adalah amanah. Sehingga, lebih baik diberikan atasan, dan lebih baik senior yang menjabat. Lalu, panitia seleksi (pansel) yang dianggap tidak kompeten, seleksi akhir tergantung dari kedekatan dengan pimpinan, ada anggapan titipan dari pihak-pihak tertentu, keengganan untuk ikut seleksi karena dianggap merepotkan, dengan beragam syarat kelengkapan dan prosedurnya. Selain itu, kekhawatiran diberhentikan sebelum jabatan berakhir, karena target kinerja tidak tercapai, ketidaklengkapan informasi terkait tempat tinggal jika harus mobilitas ke daerah lain, serta biaya besar untuk pelaksanaannya.

 

 

 

Mengawal pelaksanaan seleksi JPT

Keengganan pegawai Pemprov DKI Jakarta untuk berpartisipasi dalam seleksi JPT eselon 2, ditengarai bukan tanpa alasan. Kenyamanan yang selama ini dirasakan pegawai Pemprov DKI Jakarta, berupa tunjangan kinerja menjadi salah satu penyebabnya. Tunjangan kinerja di DKI Jakarta termasuk yang paling besar dibanding pemda lainnya.         

Walaupun selama pandemi covid-19, berdasarkan rasionalisasi sebesar 25% kecuali untuk pegawai yang terlibat langsung dalam penanganan covid-19, namun mengacu Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 19 Tahun 2020 tentang Tambahan Penghasilan Pegawai, angka terendah pada jabatan pelaksanan pelayanan terampil sebesar Rp7.470.000, dan untuk jabatan fungsional selain auditor, perencana, dan dokter tingkat terendah (keterampilan pemula) sebesar Rp12.960.000. Masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jabatan setingkat di instansi lainnya. Bagi mereka yang masuk kategori 'biasa-biasa saja' tanpa prestasi dan kompetensi yang mumpuni,  bekerja dengan zona nyaman merupakan  pilihan utama. 

Target kinerja yang tinggi dan kemungkinan diberhentikan jabatannya manakala target kinerja tidak terpenuhi. Di satu sisi, setiap jabatan memiliki target kinerja yang tidak sama, di sisi lain, rasa malu atau ketakutan akan diberhentikan menjadi alasan berikutnya. Belum lagi, tudingan bahwa seleksi JPT hanyalah akal-akalan kepala-kepala daerah untuk “melegalkan” praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dengan menitipkan orang pilihannya, agar lolos dalam pansel dan kemudian dengan hak prerogatif pada tahap terakhir, kepala daerah memilih kadernya. 

Isu jual-beli jabatan merebak. Kalau berkaca dari kasus DKI Jakarta, tentunya pendapat anggota DPRD DKI Jakarta tentang peran dan kewenangan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang terlalu besar (Lihat Media Indonesia, 11/05/2021) dianggap memberikan kontribusi. 

 

 

Dampak kekosongan jabatan

Proses seleksi JPT yang yang cukup panjang, memungkinkan timbulnya kondisi tidak ada pejabat definitif. Pasal 6 ayat (2) poin g UU Nomor 30 Tahun 2014, tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan, bahwa pejabat pemerintahan (dalam hal ini Gubernur) memiliki hal untuk menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan. 

Akan tetapi, sesuai dengan Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara Nomor 2/SE/VII/2019 Tahun 2019, pelaksana harian atau pelaksana tugas ini hanya berwenang melaksanakan tugas, serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin, yang menjadi wewenang jabatannya, dan tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis, yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

 

 

Celah pengisian jabatan

Pasal 111 UU ASN memberikan celah pada instansi pemerintah untuk mendapatkan pengecualian, yaitu jika instansi pemerintah untuk mendapatkan pengecualian, yaitu jika instansi pemerintah telah menerapkan sistem merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). 

Hingga saat ini, Peraturan KASN Nomor 5 Tahun 2017 baru mengatur Penilaian Mandiri Penerapan Sistem Merit. Adapun, pedoman penerapan sistem belum terbit regulasinya. Salah satu poin pentingnya ialah instansi pemerintah harus memetakan dengan baik dan tepat kompetensi pegawai (bukan sekadar sebagai catatan administratisi), dan memiliki perencanaan karier pegawai dengan baik, termasuk menyusun rencana suksesi per jabatannya.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat