visitaaponce.com

Film Dokumenter Tanah Moyangku Ungkap Sejarah Panjang Konflik Agraria di Indonesia

Film Dokumenter Tanah Moyangku Ungkap Sejarah Panjang Konflik Agraria di Indonesia
Sutradara Tanah Moyangku, Edy Purwanto di launching dan diskusi film pada Selasa (28/11), Jakarta Pusat.(MI/Joan Immanuella)

SEKTOR agraria menjadi sorotan utama di Indonesia dengan rentetan konflik yang terus memanas. 

Insiden terakhir terjadi di pulau Rempang, Kepulauan Riau, menandai konflik agraria yang kerap menghiasi pemberitaan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa antara tahun 2015 hingga 2022, sebanyak 2701 konflik agraria meletus di berbagai daerah di Indonesia.

Data yang dihimpun oleh KPA menunjukkan, dari total konflik tersebut, 1934 orang mengalami kriminalisasi, 814 orang mengalami tindakan kekerasan, 78 orang terluka akibat penembakan, dan 69 orang di antaranya meninggal dunia. Konflik ini melibatkan lahan seluas hampir 6 juta hektar, memengaruhi lebih dari 1,7 juta keluarga.

Baca juga : Ini Alasan Dandhy Dwi Laksono Garap Dokumenter Dirty Votes yang kini Viral

Konflik agraria, yang memiliki akar sejarah panjang hingga masa kolonial Belanda, mencapai puncaknya pada tahun 1870. Saat itu, pemerintah Kerajaan Belanda menerapkan Agrarische Wet atau Undang-Undang Pertanahan, yang mengatur Domein Verklaring atau deklarasi domein, menyatakan bahwa wilayah di Indonesia yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya menjadi milik negara.

Sejak saat itu, sebagian besar tanah di Indonesia menjadi properti Pemerintah Belanda. Meski Indonesia merdeka pada tahun 1945, aturan pertanahan belum mengalami perubahan mendasar, menyebabkan konflik agraria terus berlanjut hingga kini.

Pada 1960, Pemerintahan Presiden Soekarno menerbitkan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Namun, implementasinya belum sepenuhnya dilaksanakan karena Soekarno digantikan oleh Soeharto.

Baca juga : 15 Film Terbaru di Netflix, Penuh Kisah Epik, Romantis, dan Dokumenter yang Memikat

Perjalanan sejarah agraria yang merentang dari masa kolonial hingga saat ini diangkat dalam film dokumenter terbaru berjudul Tanah Moyangku, hasil karya Watchdoc Documentary. 

Setelah meraih penghargaan Ramon Magsaysay Award untuk kategori Emergent Leader tahun 2021, Watchdoc terus aktif memproduksi film dokumenter dengan fokus pada hak asasi manusia (HAM), anti korupsi, lingkungan, sosial, dan budaya.

“Buat masyarakat, tanah moyangku ini adalah tanah yang menjadi tanah warisan dari nenek moyang mereka. Tanah warisan yang sangat berharga ini adalah sebuah harta yang harus dipertahankan,” kata sutradara film Edy Purwanto. 

Baca juga : Film Dokumenter Dirty Vote Bentuk Pendidikan Politik

Namun sering kali disalahgunakan oleh perusahaan. “Ini tanah siapa? Nenek moyangku, mau gue apa-apain, terserah,” jelas Edy sambil mengartikan judul film dokumenter ini.  

Tanah Moyangku, film dokumenter terbaru mereka, merupakan hasil kerja sama dengan Lembaga Penelitian Belanda KITLV. Film berdurasi 84 menit ini didasarkan pada penelitian kolaboratif antara peneliti Belanda dan Indonesia, termasuk Prof. Ward Berenschot, Prof. Otto Hospes, Prof. Afrizal, M.A, dan Dr. Ahmad Dhiaulhaq, yang hasilnya terpublikasikan dalam buku berjudul Kehampaan Hak.

Film tersebut mengambil pandangan dari pengamatan Ward Berenschot dan mendalami sejarah konflik agraria dengan melibatkan diskusi dengan sejarawan JJ Rizal, serta penelusuran Prof. Afrizal terhadap konflik agraria di berbagai lokasi.

Baca juga : Film Dirty Vote Viral, Gibran Rakabuming: Belum Nonton

Tanah Moyangku telah diluncurkan dalam sebuah premiere di Teater Asrul Sani, TIM pada Selasa (28/11). Film ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam tentang sejarah konflik agraria di Indonesia dan memberikan panggung bagi pembicaraan lebih lanjut mengenai isu ini. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat