visitaaponce.com

Menteri Siti Nurbaya Presiden Menyayangi Masyarakat Hukum Adat

Menteri Siti Nurbaya : Presiden Menyayangi Masyarakat Hukum Adat
Menteri KLHK Siti Nurbaya (tengah) berpose bersama wakil masyarakat hukum ada Nusantara di Jakarta, Sabtu (10/8)(Istimewa/KLHK)

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)  Siti Nurbaya menjelaskan, seluruh masyarakat adat tidak boleh memiliki sikap keraguan kepada pemerintah dan khususnya kepada Presiden Joko Widodo yang memang betul-betul menyayangi masyarakat hukum adat di Indonesia ini.

Dengan dasar hukum dan pijakan konstitusional yang kuat telah ada dan diakui secara resmi oleh negara pada 30 Desember 2016 setelah Indonesia merdeka lebih dari 70 tahun, masyarakat hukum adat di Indonesia mendapat perlindungan dari negara.

“Tampak sangat jelas diaktualisasikan oleh Presiden dan pemerintah, seperti secara simbolik pada upacara resmi kenegaraan di Istana negara dipakai pakaian adat. Begitu pula pada upacara resmi peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap 1 Juni,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya saat mewakili Presiden Joko Widodo dalam Perayaan 20 Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional 9 Agustus bertempat di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (10/8).

Presiden Jokowi berhalangan hadir pada Perayaan 20 Tahun  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) karena tengah berada di luar negeri untuk melakukan kunjungan kenegaraan.

Dalam sambutannya, Siti Nurbaya mengatakan,“Pada beberapa kesempatan, saya melaporkan kepada bapak Presiden tentang hal berkenaan dengan masyarakat hukum adat, bapak Presiden selalu bilang, mereka itu, masyarakat hukum  adat adalah kawan-kawan saya, begitu kata bapak Presiden, Jadi saya menangkap kesan bahwa Bapak Presiden menyayangi masyarakat hukum adat kita.” 

Selanjutnya Siti Nurbaya menjelaskan bahwa tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut sebagai ‘Masyarakat Hukum Adat’ atau ‘Masyarakat Tradisional’.

“Ini bukan hanya fenomena khusus Indonesia, tapi  bersifat global dengan disahkannya the U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples  pada 13 September 2007   dalam Sidang Umum PBB,” jelas Siti Nurbaya.

Menurut Menteri LHK, faktanya banyak masyarakat hukum adat yang telah ada selama ratusan tahun dan kemudian menjadi bagian dari negara bangsa Indonesia. Masyarakat hukum adat  adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya.

“Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan  kebersamaan. Sedangkan negara bangsa  adalah entitas-entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai penduduk suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya. Kata-kata kunci untuk memahami negara bangsa adalah kedaulatan dan kekuasaan,” ujar Siti Nurbaya.

 Oleh karena kedua entitas tersebut, dijelaskan Siti Nurbaya, meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka cepat atau lambat, secara tertutup atau terbuka, akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama.

Seyogyanya, posisi masyarakat hukum adat akan jauh lebih baik dalam suatu negara bangsa, karena didasarkan pada faham kebangsaan dan asas kedaulatan rakyat. Warga masyarakat hukum adat yang hidup secara turun temurun pada tanah ulayat di kampung halamannya masing-masing adalah bagian menyeluruh dari rakyat negara yang bersangkutan.

Dalam konteks kesejarahan Indonesia, dengan perancang Undang-Undang Dasar 1945,  Prof Mr Dr R Soepomo, adalah seorang pakar hukum adat, yang benar-benar mengetahui posisi masyarakat hukum adat di Indonesia, maka terlihat tegas mencantumkan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dalam rancangan konstitusi.

Original Intent

Lebih jauh, Siti Nurbaya memaparkan jika bisa dilihat original intent seperti dalam penjelasan Pasal 18  UUD 1945 (asli) diberikan contoh-contoh tentang satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, dan nagari di Minangkabau, yang dinyatakan mempunyai hak asal usul yang harus dihormati negara.

Sikap para pendiri negara tersebut merupakan original intent yang harus dirujuk dalam melakukan tafsiran historis (historische interpretatie) terhadap norma hukum positif yang terkait dengan eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. 

“Harus diakui bahwa masih ada kendala konseptual yang cukup menghambat upaya untuk secara sistematik menindak-lanjuti original intent  para pendiri negara ke dalam kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan nasional. Hal ini disebabkan antara lain karena kurang berkembangnya pengetahuan terhadap perkembangan masyarakat hukum adat,” ujarnya.

Di sisi lain, pada 2016 dan 2017 hutan Adat telah ditetapkan dan dicadangkan seluas  34.569 hektare  di Jambi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Barat Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bali dan Sumatera Utara.

Secara keseluruhan pada April 2019 telah ditetapkan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I seluas ± 472.981 hektare. Pada Agustus 2019, ditetapkan kembali tambahan hutan adat seluas  101.138 hektere, sehingga total hutan adat  dan wilayah indikatif hutan adat fase II mencakup areal seluas ± 574.119 hektare. (OL-09)

 

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat