visitaaponce.com

Mikropaleontologi, Ilmu Ningrat yang Didalami Prof Rubiyanto

Mikropaleontologi, Ilmu Ningrat yang Didalami Prof Rubiyanto
Guru Besar Mikropaleontologi dari ITB.(ITB)

MIKROPALEONTOLOGI merupakan bidang keilmuan spesifik. Dari ilmu ini kita menjadi tahu bagaimana makhluk kecil yang berukuran mikron dapat hidup dan berkembang biak dengan sempurna.

Karena membuat pening kepala hingga sekarat, tidak banyak peneliti yang berminat pada bidang keilmuan mikropaleontologi. Oleh karena itulah keilmuan ini sering disebut sebagai ‘Ilmu Ningrat’.

Sedikitnya peneliti yang mengambil konsen keilmuwan di bidang keilmuan ini, membuat Prof Rubiyanto Kapid menjadi guru besar satu-satunya di bidang mikropaleontologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pemilik nama lengkap Prof Dr Ir Rubiyanto Kapid, DEA, ini adalah seorang Guru Besar dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB). Ia tergabung dalam Kelompok Keahlian Paleontologi dan Geologi Kuarter.

Ia meraih gelar sarjana geologi di ITB tahun 1982. Kemudian meraih gelar DEA di Universite Claude Bernard, Lyon I, Prancis tahun 1988. Gelar Doktor diraihnya pada Universite De Reims Champagne Ardenne, Prancis pada akhir 1991.

Prof Ruby memulai perjalanan kariernya sejak menjadi asisten dosen saat masih mahasiswa Teknik Geologi ITB sekitar tahun 1980-an. Ketika lulus ia diterima sebagai staf pengajar di Teknik Geologi lalu ditugaskan untuk mempelajari mikroorganisme nanoplankton oleh Prof Harsono Pringgoprawiro (prof emiritius dari ITB) yang menjadi atasan, sekaligus sosok yang dikaguminya.

Ketertarikannya pada keilmuwan mikropaleontologi sudah berlangsung sejak dirinya menjadi asisten di Laboratorium Mikropaleontologi. Dari situ, Prof Ruby, demikian ia biasa disapa, banyak belajar dan mendalami topik-topik riset di bidang tersebut.

"Karena sudah familier di bidang tersebut, setiap hari melihat di mikroskop, lama-lama timbul rasa suka dan tertarik untuk mempelajari yang lebih dalam lagi, ditambah tugas belajar dari ITB,”  tuturnya seperti dilansir dari laman ITB, Selasa (8/12).

Prof Ruby menerangkan, mikropaleontologi sendiri adalah suatu ilmu di Teknik Geologi yang mempelajari fosil-fosil yang berukuran mikro yang ada di dalam batuan sedimen, termasuk nanoplankton yakni, mikroorganisme yang sangat kecil sekali berukuran 2-10 mikron yang berasal dari ganggang laut atau coccolithophore.

Saking mikronya, kata Prof Ruby, maka organisme tersebut hanya bisa dilihat dengan menggunakan mikroskop khusus seperti mikroskop binokuler, mikroskop polarisasi, bahkan scanning electron microscope (SEM), yang perbesarannya mampu mencapai 50.000 kali atau lebih.

Selama menekuni bidang mikropaleontologi, terutama nanoplankton, ia sempat kesulitan karena pengembangan ilmu ini membutuhkan alat khusus dalam melakukan penelitiannya. Sementara di Indonesia, pada waktu ia baru selesai kuliah S3, masih belum ada alatnya. Oleh sebab itu ia sedikit memodifikasi alat mikroksop yang sudah ada hingga dapat melaksanakan penelitiannya lebih lanjut.

Lima tahun setelah lulus S3 di Prancis, Prof Rubiyanto kembali lagi ke Prancis untuk meneruskan program Post-Doktorat di Universite de Reims selama dua bulan dalam rangka mendalami penelitian di bidang mikroorganisme nanoplankton. Ia bersyukur saat itu teknologi sudah lebih maju dan sudah ada mikroskop tersebut di ITB.


Berharap tidak punah
Karena tidak banyak yang mempelajari mikropaleontologi, ia berharap ilmu ini tidak punah dan tetap ada yang melanjutkannya kendati dirinya pensiun. "Ílmu geologi tanpa pengetahuan tentang umur (waktu) dan lingkungan terjadinya, maka tentu saja akan kurang lengkap," cetusnya.

Menurutnya, mikropaleontologi sangat bermanfaat dalam dapat melakukan rekonstruksi waktu atas penemuan benda-benda dan fosil zaman dahulu. “Jadi ilmu yang menarik menurut saya karena kita bisa melihat ke masa lampau untuk kita terjemahkan ke masa yang akan datang,” tuturnya.

Mikropaleontologi ini juga bisa mengetahui iklim di masa lampau dan melihat prediksinya di masa yang akan datang dengan melihat ciri-ciri sedimennya, misalnya, sekian ribu tahun lalu pernah terjadi kekeringan, itu akan tercermin dari batuan dan mikrofosil yang terdapat di batuan tersebut, seperti bentuknya tidak sempurna dan jumlahnya sedikit.

“Jadi kita belajar dari masa lampau untuk menafsirkan masa yang akan datang. Itu bisa kita lakukan secara simulasi. Tetapi namanya ilmu ada keterbatasannya, namun kita perlu terus belajar dan ada regenerasi,” pungkas Prof Ruby.

Selama menjadi dosen dan peneliti di bidang mikroorganisme, Prof Rubiyanto telah menulis sejumlah buku, antara lain Foraminifera: Biostratigrafi dan Aplikasinya bersama Prof. Harsono. Lalu, Nannofosil Gampingan” serta buku “Ostracoda” bersama koleganya dari Badan Geologi, Kresna Tri Dewi.

“Kalau paper-paper yang saya tulis kebanyakan adalah tentang mikrofosil, mulai di Selat Makasar, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Indonesia Timur bersama mahasiswa dan kolega saya,” ujarnya.

Hingga kini, sudah 36 tahun ia mengabdikan diri di ITB sebagai dosen dan peneliti. Saat ini, ia hanya satu-satunya Guru Besar di bidang mikropaleontologi setelah dua Guru Besar di bidang yang sama dari ITB dan UGM pensiun. (H-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat