visitaaponce.com

Asosiasi Inventor Indonesia Gonjang-ganjing BRIN Akibat Kebutaan Ilmiah

Asosiasi Inventor Indonesia: Gonjang-ganjing BRIN Akibat Kebutaan Ilmiah
Seorang pegawai berada di depan Kantor Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman di Jakarta, Senin (3/1/2022)(ANTARA/AHYU PUTRO A)

KETUA Umum Asosiasi Inventor Indonesia (AII) Prof. Didiek Hadjar Goenadi menilai bahwa pro dan kontra hadirnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat ini dikarenakan kurangnya pemahaman dan komunikasi publik yang baik. Berbagai isu menyebar luas dan lebih lantang menyuarakan aspek negatif terkait lembaga tersebut.

"Inti dari polemik tentang BRIN ini adalah pada pemahaman yang sepotong-sepotong dan ditunjang oleh kemampuan komunikasi publik yang kurang memadai. Sehingga layaknya lalu lintas di Bunderan HI Jakarta ketika lampu bangjonya mati," ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (9/1).

Alasan lain yang turut meramaikan polemik BRIN adalah peleburan berbagai lembaga riset termasuk divisi litbang di Kementerian/Lembaga. Secara tidak langsung, tentu ada boikot terselubung yang merasa berat menyerahkan aset ke lembaga baru itu. Padahal aset itu merupakan milik negara.

Baca jugaSoal Petisi, Kepala BRIN: Saya Ambil Sisi Positif

Baca jugaVarian Omikron Meningkat, Epidemiologi: Indonesia Harus Waspada

"Jadilah implementasi dari kebijakan ini tersandra oleh sikap ego-sektoral, yang kalau di depan Presiden manggut-manggut tanda setuju, tapi di belakang masih pegang kuat ekornya," imbuh Didiek.

Dia menjelaskan, di dunia peradilan dikenal bahwa hukum itu buta. Artinya, tidak melihat siapa, tetapi murni menegakkan keadilan seperti yang digambarkan sebagai seorang wanita membawa timbangan dan belati dengan mata tertutup. Sebaliknya di dunia ilmiah, dikenal adanya istilah keahlian yang sifatnya umum (luas) yaitu generalis, dan yang sangat terfokus (sempit) yaitu spesialis.

Tentu dari istilahnya sudah bisa dibayangkan, bahwa yang pertama mampu berpikir holistik namun tidak mendalam, sedang yang kedua adalah yang sempit tetapi mendalam. "Ini bukan mau membandingkan yang satu lebih baik dari yang lainnya, tetapi untuk melihat karakter dari insan-insan akademik dalam kedua kelompok tersebut," tambahnya.

Menurut Didiek, seorang generalis akan melihat konteks keberadaan BRIN sebagai sebuah ikhtiar untuk menghindari hal-hal yang tumpang-tindih, tidak taat hukum, dan doing business as usual, sehingga kontra-produktif, mubazir, dan going nowhere. Tentu ada trade-offs yang sudah diperkirakan sebelumnya dan dicari solusi untuk mengatasinya.

"Tidak mungkin sebuah kebijakan dapat memuaskan semua pihak. Yang perlu diupayakan adalah pengorbanan yang paling minimal untuk mencapai hasil yang paling maksimal," kata dia.

Sebaliknya, ilmuwan yang spesialis melihat persoalan sangat fokus sesuai dengan minatnya. Sehingga kadang memudarkan faktor-faktor lain di luar keilmuannya yang juga berperan mempengaruhi fenomena yang dilihatnya. Ibaratnya seperti memakai kacamata kuda sehingga yang dilihat adalah linier ke depan karena memang tuntutan keahliannya seperti itu.

"Dengan demikian ilmuwan yang sangat ahli di bidangnya akan kurang mampu melihat dalam cakrawala yang lebih, sehingga bisa mengalami sindrom yang saya sebut ‘kebutaan ilmiah’. Tentu akan banyak yang mendebat lamunan saya ini tapi itulah yang saya punya dalam pikiran saya dan tentu sebagai periset profesional saya boleh salah, tapi tidak boleh bohong," ungkap Didiek.

Dia menyinggung, kasus terakhir yang menyangkut Lembaga Biologi Molekuler Eikman (LBME). Hal itu mencuat cukup intensif karena diisukan menyangkut pemutusan hubungan kerja sepihak oleh kebijakan BRIN tanpa pesangon para karyawan peneliti dan teknisi yang selama ini dikontrak.

Didiek yang pernah menjadi bagian Kemenegristek dari tahun 2000-2003, mengatakan LBME awal-awalnya dikelola oleh kementerian dengan memanfaatkan aset milik RSCM. Perjalanan lama sekitar 30-an tahun tentu telah membuat pihak-pihak tertentu merasa sebagai sebuah hal yang wajar dan legal. Apalagi didukung oleh dana APBN dalam operasinya.

"Dan ketika BRIN menemukan fakta bahwa LBME ini statusnya belum sebagai institusi resmi (permanen), dan bermaksud mendudukkan desuai aturan hukum yang berlaku mendadak dianggap sebagai sebuah bentuk ancaman rusaknya tatanan pembangunan dunia ilmiah kita," jelasnya.

Tentunya BRIN telah melakukan kajian-kajian panjang dan mendalam serta memikirkan solusi untuk meminimalisir dampak dari penertiban ini. Seperti yang disampaikan oleh Kepala BRIN, ada beberapa opsi untuk rekrutmen tenaga periset LBME ke dalam tatanan baru BRIN.

Mungkin saja opsi yang ditawarkan ini dianggap masih memerlukan proses yang cukup lama, sedangkam para periset kontrakan tersebut butuh penghasilan sehingga bisa dimaklumi kalau memilih pindah meninggalkan LBME. "Padahal mereka sedang menyelesaikan kegiatan riset strategis termasuk pengembangan vaksin Merah Putih. Poin inilah yang oleh sebagian pihak yang kontra merupakan tanda bagi matinya masyarakat ilmiah di Indonesia," lanjutnya.

Polemik tentang keberadaan dan kemanfaatan BRIN perlu segera diakhiri dengan masing-masing pihak yang pro dan kontra menurunkan ego sektoralnya.

Dengan asumsi positif bahwa tujuan pembentukan BRIN adalah untuk mempercepat pencapaian keunggulan iptek nasional di kancah global melalui hilirisasi invensi atau inovasi, maka keberadaan BRIN perlu dikawal untuk tidak keluar dari jalur tujuan utamanya dan mengurangi dampak merusak yang mungkin akan terjadi.

Apabila semua pihak dapat mengekang ambisi berlebihannya masing-masing, maka BRIN dapat bekerja secara maksimal dan membuktikan bahwa apa yang dijanjikan dapat dipenuhi. Sehingga cita-cita mencapai Indonesia Emas tahun 2045 terwujud lebih cepat. "Terakhir, sebagian anggota Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) akan berkata ‘Khan sudah kami bilang dulu bukan ini jalan terbaiknya’", tandasnya. (H-3)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat