visitaaponce.com

Usai Dilebur ke dalam BRIN, Eijkman Malah Mati Suri

Usai Dilebur ke dalam BRIN, Eijkman Malah Mati Suri
Infografis(Dok.MI)

SETELAH semua lembaga riset dileburkan menjadi satu dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), capaian atau hasil-hasil riset memang tidak banyak didengar. Padahal, saat ini berbagai isu mulai dari kesehatan seperti yang terbaru gagal ginjal akut atau pun isu sosial lain telah menjadi masalah nasional.

Salah satu lembaga riset yang sebelumnya sering mengeluarkan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan isu nasional, yaitu Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman kini pun tidak terdengarnya lagi namanya. Pasca dilebur dan diganti menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman di bawah BRIN, lembaga tersebut seperti mati suri. Hampir lebih dari setahun tidak ada hasil riset yang diketahui publik.

Eks Kepala Eijkman, Amin Soebandrio mengungkapkan bahwa nama Eijkman ada saat ini di bawah BRIN bukanlah Eijkman yang dulu. Semuanya sudah jauh berbeda, baik SDM atau penelitinya, laboratorium atau bahkan pendekatan risetnya.

"Ya lembaga Eijkman bisa dikatakan sudah tidak ada. Jadi yang sudah dikembangkan sejak tahun 1992 itu, sudah memiliki reputasi internasional hanya dalam beberapa bulan saja dibubarkan, tidak ada lagi sudah lembaga Eijkman. Semua kegiatan penelitiannya juga sudah tidak ada, termasuk pengembangan vaksin merah putih sudah berhenti," ujarnya kepada Media Indonesia, Senin (14/11).

Diejalaskannya, sejak September tahun lalu, lembaga Eijkman sudah dilebur ke dalam BRIN. Namanya diganti dan lokasinya juga berubah, bukan di Jl. Diponegoro tetapi dipindahkan ke Cibinong.

Bertempat di Cibinong, Eijkman tidak memiliki laboratorium yang utuh seperti sebelumnya. Pasalnya konsep lembaga riset sudah berbeda dengan laboratorium yang dipakai secara bersama-sama untuk semua peneliti.

Baca juga: Menkes Ajak Sektor Swasta Berpartisipasi dalam Dana Pandemi

"Jadi secara fisik tidak ada laboratorium atau seperti lembaga Eijkman itu gak ada lagi. Dan peneliti-penelitinya sudah berpencar ya, yang bukan PNS karena tidak lagi didukung oleh BRIN, mereka berpencar ada yang ke swasta perusahaan dsb. Kalau yang PNS resminya memang harus bergabung di Cibinong. Jadi bukan lagi Eijkman, beda sekali," jelas Amin.

Menurutnya, sebelum dileburkan ke dalam BRIN, Eijkman lebih maju dan ebih cepat dalam penelitian dari pada lembaga penelitian lain. Bahkan, nama Eijkman tidak hanya dikenal di Indonesia tetapi juga internasional.

Hal itu terjadi, kata Amin, karena penelitinya bekerja full time. Berbeda dengan peneliti di PT yang harus bisa mengajar, harus melaksanakan tugas pendidikan dan pengabdian masyarakat. Berbeda pula dengan peneliti di kementerian yang setiap dua tahun harus pindah posisi agar bisa dipromosikan.

"Kalau di Eijkman gak ada, orang yang kerja di malaria ya dari dulu sampai sekarang kerjanya di malaria. Yang kerja di demam berdarah dari dulu sampai sekarang demam berdarah terus tidak diganti-ganti. Semuanya begitu dan di Eijkman itu juga ada kebebasan akademik. Waktu saya masuk di sana tahun 2014 itu setiap peneliti, yang junior sekalipun kalau punya hasil penelitian yang bagus dia bisa publikasi," ucapnya.

Amin pun menilai pengelolaan riset yang ada saat ini dengan disatukan dalam BRIN merupakan sebuah kemunduran. Buktinya, setelah setahun dunia riset nasional seolah-olaj berjalan di tempat. Jarang masyarakat mendengar adanya hasil penelitian yang benar-benar menjadi solusi berbagai permasalahan yang ada.

"Secara umum sih kalau saya melihat pengelolaan saat ini merupakan suatu kemunduran. Bahwa penelitian itu dijadikan satu semuanya di satu organisasi, kemudian pendekatannya seperti birokrasi dan laboratorium dipakai bersama-sama seperti co-working space satu ruangan laboratorium dipakai gantian. Itu untuk penelitian yang berkesinambungan itu bukan pendekatan yang benar," kata Amin.

Dia menyayangkan integrasi yang dilakukan BRIN yang secara tidak langsung mematikan lembaga riset yang sebenarnya produktif dalam menghasilkan penelitian. Amin berharap lembaga Eijkman dan juga lembaga penelitian yang lainnya bisa dikembalikan fungsinya.

"Jadi tidak semua dijadikan satu di dalam BRIN, tetapi mereka justru kalau sudah berkembang, sudah eksis maka itu harus didukung. Fungsi BRIN itu hanya koordinir saja, itu akan jauh lebih produktif dan penelitian itu memang diharapkan bisa menyelesaikan masalah di Indonesia, bisa menghasilkan produk dan jasa yang memang bisa memecahkan masalah yang ada di bidang kesehatan, transportasi dan lainnya. Tidak sekadar meneliti untuk menjadikan publikasi selesai begitu," tandasnya.(OL-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat