visitaaponce.com

Frenemy Media Massa Konvensional dan Digital di Era Disrupsi

Frenemy Media Massa Konvensional dan Digital di Era Disrupsi
ilustrasi media massa(Medcom.id)

PERKEMBANGAN media saat ini sedang mengalami disrupsi teknologi digital. Bahkan kondisi terkini disrupsi teknologi digital menuju era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental karena hadirnya teknologi digital, mengubah sistem yang terjadi di Indonesia.

Saat ini industri media masa didorong bertransformasi dan beradaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi sehingga dapat memanfaatkan dampak dari pandemi covid-19 untuk mengembangkan industri media masa yang berbasis teknologi dan digitalisasi yang diminati oleh masyarakat.

Ketua komisi Hubungan Antarlembaga dan International Dewan Pers Agus Sudibyo, menyatakan hal tersebut dalam buku Dialektika Digital membahas nasib media massa di era transformasi digital. Di era transformasi digital saat ini begitu banyak hal dalam kehidupan publik dan media di Indonesia.

"Dalam konteks transformasi ini menariknya, kita harus berhadapan dengan platform digital dan platform digital dalam perkembangannya tidak hanya berperan sebagai perantara konten, tetapi juga sebagai kurator konten," kata Agus dalam Bedah Buku: Dialektika Digital serta diskusi dengan tema bertajuk Frenemy media massa konvensional dan digital secaa daring Selasa (5/4).

Dia menambahkan platform digital tidak hanya berperan sebagai perusahaan teknologi tetapi juga perusahaan media. Bahkan Google, Facebook hingga media sosial lainnya hampir 90% beroperasi dengan biaya iklan.

"Berarti dari monitenisasi konten dan sebagiannya adalah konten jurnalistik. Google dan Facebook belakangan tidak bukan hanya berperan sebagai distributor konten tetapi juga publiser itu sendiri," sebutnya.

Oleh karena itu, lanjut Agus, platform digital mampu mengubah produksi, distribusi dan iklan di media. Dimana alur sebuah konten diproduksi, disebar pada fitur feed media sosial hingga dimonitenisasi dijalankan oleh perusahaan tersebut.

"Maka dalam konteks ini (Google dan Facebook) semangatnya mendorong agar platform digital mampu mengembang tanggung jawab yang lebih besar dari sekadar perusahaan teknologi yang selalu mereka klaim," paparnya.

Baca juga: Peta Media Massa Alami Perubahan

Dirjen IKP Kemenkominfo Usman Kansong, menyebut bahwa platform digital sebagai entitas bisnis yang menyasar keuntungan semata dalam berbagai negosiasi yang dilakukan terhadap media massa. Dengan demikian, diperlukan sikap yang sama antara pemerintah dan komunitas pers.

"Kita tidak cukup hanya bernegosiasi, beradaptasi tetapi juga harus kreatif dalam menciptakan jurus-jurus baru untuk mendapatkan review, misalnya dengan konten berbayar," ujarnya.

Dia mendorong upaya mengedukasi masyarakat agar mau membayar sejumlah biaya untik mendapatkan informasi. Meskipun untuk konten bebas akses juga tetap diberikan.

"Karena memang pertandingan antara media konvensional dan media baru sebenarnya itu pertandingan antara gratis dan berbayar. Jadi kita memang harus mulai mengedukasi masyarakat dan kita setuju," tuturnya.

Dia menambahkan walaupun dibutuhkan penciptaan ekosistem melalui Publisher Rights atau regulasi namun tidak berlebihan sehingga regulasi itu berdampak pada kebebasan pers.

"Pemerintah menyadari itu sepenuhnya. Sejak hari Pers Nasional 2020, Presiden Jokowi telah menyampaikan komitmen untuk menjaga media sustainability dan menantang komunitas pers, dewan pers untuk menyusun sendiri regulasi Publisher Rights tanpa campur tangan pemerintah," lanjutnya.

Usman menambahkan pemerintah hanya memfasilitasi semua naskah akademik, dan juga draft disusun oleh dewan pers bersama organisasi pers. Bahkan Presiden Jokowi menyerahkan kebebasan memilih jenis regulasi, baik UU, revisi UU atau PP.

"Sebetulnya sudah ada kesepakatan membentuk dalam PP, tetapi ada suara lai yang ingin dalam bentuk perpres dan kita terbuka dengan hal itu karena sifat regulasi adalah button up, bukan top down. Dan jangan sampai terjadi over regulation," tegasnya.

Sementara itu, Jurnalis Senior Don Bosco Selamun menyatakan bahwa buku ini membuka wawasan tentang pertarungan antara media konvensional dan platform digital, dari berbagai kasus dan berbagai negara yang memperlihatkan bagaimana bergening platform digital bisa sejalan dengan media konten.

"Kondisi memperlihatkan bahwa orang tidak boleh maju sendiri-sendiri (media konvensional) karena akan kalah menghadapi platform digital. Harus maju bersama-sama, begitu juga dengan pemerintahnya," terangnya.

Di sisi lain, kebutuhan dan permintaan masyarakat terhadap akses informasi yang cepat dan gratis meningkat dengan adanya digitalisasi ini. Hal itu ditekankannya dapat dilihat dari hasil survei Nielsen tahun 2020.

Berdasarkan riset AC Nielsen per Agustus 2020 menyebutkan pembaca koran dan media cetak jauh lebih kecil dari media daring. Pembaca berita online diperkirakan mencapai 6 juta orang. Sedangkan pembaca media cetak diperkirakan sebanyak 4,5 juta orang.

Survei Status Literasi Digital Indonesia oleh Katadata Insight Center dan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada November 2021 juga menguatkan fenomena yang sama. Dari 1.670 responden yang disurvei, 76% di antaranya mengakses informasi melalui media social. Sementara 59,5% mendapatkan informasi dari televisi, sedangkan 25,2% mendapatkan informasi online. (A-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat