visitaaponce.com

Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

PROGRAM Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menjadi upaya pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan.

Salah satu tujuan program RHL adalah meningkatkan kesejahtera­an masyarakat. Sejumlah kegiatan dilakukan untuk mendukung program RHL dari Kementerian LHK. Antara lain pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR).

KBR dimaksudkan untuk menyediakan bibit tanaman kayu-kayuan atau tanaman serbaguna (MPTS). Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan.

KBR dilaksanakan swa­kelola oleh kelompok masyarakat. Salah satunya adalah kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKM) Bina Wana di Desa Tribudi Sukur, Kecamantan Kebun Tebu, Lampung Barat.

Melalui Permen Kehutanan No 37/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, HKM Bina Wana sukses memanfaatkan kawasan hutan seluas lebih dari 600 hektare (ha) untuk menghasilkan berbagai produk. Antara lain berupa kayu-kayuan seperti sengon, meranti, hingga tanaman kopi, pisang, lada, singkong, aren, jengkol, dan petai.

Menurut Ketua HKM Bina Wana Engkos Kosasih, HKM mengubah perekonomian masyarakat desa transmigrasi dari Jawa Barat ini.

“Dulunya boleh dikatakan perekonomiannya morat-marit. Dengan bisa mengelola hutan, lewat program HKM, alhamdulillah masyarakat merasa tertolong,” ujar Engkos.

Salah satu potensi yang dimiliki kawasan ini adalah produk rotan. Saat ini, HKM Bina Wana mengembangkan tanaman rotan yang kondisinya kian langka di kawasan hutan tersebut.

HKM Bina Wana juga dapat mengangkat peran ibu-ibu di desa tersebut melalui Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati.

Kegiatan utama KWT Melati antara lain mempro­ses Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa biji kopi, pisang, singkong, dan aren menjadi produk jadi siap konsumsi.

Dengan menjadi penggerak di sektor hilir, KWT Melati menghasilkan omzet sekitar Rp2 miliar pada tahun lalu. Mereka pun bisa meraup Sisa Hasil usaha (SHU) sedikitnya Rp300 juta per tahun.

Ketua KWT Melati Yayah Suryani menyebutkan semua anggota menerima penghasilan setiap bulan, ditambah pembagian SHU setiap tahunnya.

“Tahun lalu, setiap anggota mendapat Rp900 ribu (dari SHU), dan tidak semua dibagikan kepada anggota. Ada 3% disisihkan untuk keperluan sosial dan pengembangan usaha,” katanya.

Alpukat siger

Keberhasilan program­ RHL juga terlihat di Provinsi Lampung. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Su­ngai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Way Seputih Way Sekampung (WSS) Lampung sukses mengembangkan komoditas alpukat siger 1 di Lampung Timur.

Pemrakarsanya ialah Idi Bantara yang merupakan Kepala BPDASHL Way Se­putih Way Sekampung. Idi bercerita, alpukat siger asal Lampung ini sebenarnya sudah ada sejak dulu. Namun, gaungnya belum terdengar luas.

Padahal, kekhasan alpukat yang lebih besar dan memiliki tampilan kulit ce­rah ini merupakan anuge­rah di Lampung Timur yang bisa dikembangkan.

“Dengan volume sama dari alpukat lain, lebih berat alpukat ini. Rata-rata 600-700 gram. Tampilan kulitnya lebih mengkilap dan kalau matang kulitnya kuning. Ini kalau dipamerkan di pasar, ditata gitu, akan bagus. Karena ke­unikannya, pasar itu akan melirik. Buahnya juga enak,” kata Idi.

Pada 2020, melalui program RHL, Ditjen Pengelolaan Daerah Aliran Su­ngai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian LHK menyediakan lahan seluas 15 hektare di wilayah Gunung Balak, Lampung Timur, untuk ditanami alpukat siger. Dana awal untuk lahan itu sebesar Rp97 juta.

Dalam hal ini, BPDASHL WSS memberikan pendampingan kepada petani. Antara lain dalam meningkatkan kualitas pohon untuk menghasilkan buah alpukat yang sempurna.

Idi menyebut dalam 1,5 tahun, bibit yang dihasilkan sudah mencapai 300 ribu batang. “Satu batang itu harganya Rp25.000. Jadi hanya modal Rp97 juta, dampak putaran uangnya Rp7,5 miliar dalam 1,5 tahun,” ujar Idi.

Ia mengamini bahwa alpukat memang mempunyai potensi menjanjikan. Dia menjelaskan satu batang bibit berumur 3 hingga 4 tahun menghasilkan minimal 100 kg buah per tahun.

“Satu hektare ada 400 batang, berarti ada 40.000 kg, dijual 1 kg Rp10.000 aja yang termurah, berarti pendapatan per hektare Rp400 juta. Kalau umur 5 tahun ke atas, sudah di atas 200 kg per tahun. Kalau umur indukan di atas 10 tahun, bisa 700-1.200 kg per tahun,” ungkapnya. (Ifa/S3-25)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat