visitaaponce.com

Pakar Perlu Penelitian Lebih Lanjut terkait EG dan DEG dalam Sirop

Pakar: Perlu Penelitian Lebih Lanjut terkait EG dan DEG dalam Sirop
Petugas mengumpulkan obat sirop untuk tidak dijual dan diedarkan di salah satu apotek di Kota Serang, Banten, Jumat (21/10).(ANTARA/Asep Fathulrahman)

PAKAR kesehatan Dr dr Iqbal Mochtar MPH MOHs DipICard DoccMed menyebut kebijakan pemerintah untuk menghentikan sementara peredaran obat-obat dalam bentuk sirop merupakan langkah yang tepat.

Di tengah tingginya kasus gagal ginjal akut pada anak, peredaran sirop dengan zat pelarut etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) perlu diteliti lebih lanjut kadar atau dosis toksiknya.

"Sudah tepat untuk sementara dilakukan penyetopan obat ini, sambil kita menunggu hasil penyelidikan selanjutnya. Saya kira ini sudah langkah yang tepat," ujarnya, Minggu (23/10).

Menurut Iqbal, sebenarnya kasus gagal ginjal akut bukanlah kasus baru. Sudah sejak lama sekitar 1990-an kasus tersebut ditemukan dan terjadi di berbagai negara. Negara seperti Haiti, Panama, Tiongkok, Bangladesh, Brasil, dan negara-negara Afrika itu sudah pernah mengalaminya. Anak-anak mengkonsumsi sirop dan sirop ini menyebabkan gagal ginjal hingga kematian.

"Nah pada berbagai negara terdahulu penyebabnya itu diduga adanya etilen glikol. Jadi pada obat-obat tertentu itu yang perlu pelarut seperti misalnya Paracetamol," imbuhnya.

Dijelaskannya, EG dan DEG merupakan pelarut obat jenis sirop yang tergolong murah dan terjangkau. Beberapa perusahaan farmasi berusaha mengganti dengan pelarut yang lebih murah.


Baca juga: YLKI: Usut Kasus Cemaran EG dan DEG pada Obat Sirop


"Etilen glikol dan dietilen glikol ini termasuk zat yang murah yang digunakan sebagai pelarut. Akhirnya berbagai perusahaan farmasi itu memproduksi obat dengan menggunakan kedua zat pelarut ini," jelasnya.

Pertimbangan perusahaan farmasi menggunakan kedua zat pelarut lantaran tidak serta merta menyebabkan keracunan. Semua tergantung dosisnya, ada dosis-dosis tertentu yang disebut sebagai dosis toksik dan ada disebut sebagai dosis nontoksik.

Dengan pertimbangan tersebut, perusahaan farmasi tetap menggunakan kedua zat pelarut sesuai dosis. Sehingga, sirop-sirop dengan zat pelarut etilen glikol dan dietilen glikol tetap ramai beredar di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Akan tetapi, lanjutnya, ada beberapa negara yang sama sekali tidak membolehkan kedua zat pelarut tersebut digunakan atau totally rejected.

"Jadi misalnya ada obat yang mengandung kedua zat ini langsung di-rejected misalnya dia Australia. Tapi ada yang membolehkan di bawah dosis toksik," sambungnya.

Dengan asumsi tersebut, kata Iqbal, kemungkinan perusahaan farmasi di Indonesia memproduksi obat yang mengandung kedua zat tersebut. Dan ada kemungkinan dosisnya melebihi dari dosis yang dibolehkan.

"Ini kemungkinan, tapi sekali lagi apa yang disampaikan Kemenkes itu sifatnya perlu dilanjutkan dengan penelitian yang lebih valid. Jadi perlu melibatkan ahli toksikologi ahli farmasi untuk mendapatkan informasi bahwa memang ini penyebabnya," tandasnya. (OL-16)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat