visitaaponce.com

Merayakan Pemikiran Mendiang Arkeolog Hariani Santiko di The 11th BWCF

Merayakan Pemikiran Mendiang Arkeolog Hariani Santiko di The 11th BWCF
Ilustrasi durga yang jadi salah satu karya Arkeolog Hariani Santiko(Dok. BWCF 11)

SALAH satu tujuan utama diselenggarakan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) adalah menjadikannya sebagai forum untuk mengkaji ulang pemikiran-pemikiran penting para cendikia yang telah melakukan kajian serius dan ilmiah terhadap sejarah dan budaya nusantara kuno. 

Diharapkan dengan adanya forum itu, pemikiran-pemikiran tua yang tadinya terlupakan dapat terangkat kembali dan ide-idenya dapat menjadi inspirasi segar bagi kalangan akademisi, pelaku sastra kontemporer sampai pekerja seni kontemporer.

Tahun ini BWCF secara online akan mengangkat pemikiran almarhum Prof Dr Hariani Santiko, seorang arkeolog penting di Indonesia namun mungkin namanya tidak begitu dikenal luas terkecuali di kalangan arkeolog. Hariani Santiko lahir di Pacitan pada 1940 dan wafat pada 2021. Hariani Santiko mengabdi di jurusan arkeologi UI dan mengajar arkeologi klasik Hindu-Buddha. Kajian-kajian arkeologi yang dilakukan oleh Hariani Santiko di UI sangat dalam, karena iamenguasai bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.

Disertasi Hariani Santiko yang dipertahankan pada 1987, yaitu Kedudukan Batari Durga Di Jawa Pada Abad X-XV Masehi adalah disertasi yang sangat langka dan ditulis dengan standar ilmiah yang 8nggi. Kultus terhadap Durga menurut Hariani Santiko merupakan bagian dari kultus dewi ibu pada masyarakat agraris. 

Durga adalah ibu dunia (jagadamba) penyebab adanya nama dan rupa karena Durga adalah Sakti (kekuatan/tenaga) Siwa saat mencipta. Durga adalah pelindung manusia dari ancaman mara bahaya. Ia bertugas melindungi manusia dari kesulitan yang di8mbulkan oleh serangan musuh atau orang jahat. Durga sendiri berar8 benteng atau ia yang memusnahkan kesulitan-kesulitan atau halangan.

Disertasi itu penting karena menyajikan data dan analisa mengenai arca-arca Durga di Jawa Tengah dan Jawa Timur di zaman kuno. Disertasi ini sangat bermanfaat karena darinya kita bisa memahami salah satu unsur keagamaan terkuat yang pernah berkembang di Jawa kuno. Disertasi ini sifatnya internasional karena darinya kita bisa memperbandingkan dengan Durga di India kuno atau bahkan India sekarang atau Bali sekarang.

Baca juga : Usia Harapan Hidup Hambat Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia

Adalah fakta peninggalan arca Durga Mahisasuramardini (Durga pembunuh asura yang berwujud kerbau) sangat banyak jumlahnya di Jawa. Yang tertua diperkirakan berasal dari sekitar abad VIII masehi sementara yang termuda dari masa zaman Majapahit sekitar XV Masehi.

Selama kurang lebih 700 tahun segala produk-produk keagamaan yang berkaitan dengan Durga mulai arca,relief, prasasti sampai kakawin-kakawin (puisi panjang) diproduksi di Jawa. Tak bisa dipungkiri secara estetis arca-arca Durga Mahisasuramardini yang ada di Jawa ini memiliki tingkat artistik luar biasa yang agak berbeda dengan arca-arca Durga dan Kali di India.

Arca Durga Mahisasuramardini di Jawa sebagaimana diperlihatkan arca Durga bertangan 8 dari Candi Singosari yang kini disimpan di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden (duplikatnya ada di Museum Nasional Jakarta) rata-rata digambarkan berwajah cantik menawan dan berdiri tenang dengan dua kaki di atas punggung kerbau. 

Di India, Durga sering ditampilkan bersama wahananya berupa singa. Sang singa juga kerap disajikan ikut mencabik kerbau raksasa. Akan tetapi di Jawa pengarcaan Durga dan singa demikian jarang sekali dijumpai. Arca-arca Durga dari Jawa Timur bahkan menurut Hariani San8ko hampir-hampir 8dak menampilkan adegan kekerasan.

Sama dengan India, Durga di Jawa juga membawa senjata atau benda seper8 cakra, pasa (tali), khadga (pedang pendek) dhanu (busur), sangkha (siput), aksamala (tasbih), sula (tombak), gada, khetaka (perisai). Baik di India. (RO/OL-7) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat