visitaaponce.com

Angka Perkawinan Anak di Ponorogo Tinggi, Ini Penjelasan Dosen Unair

Angka Perkawinan Anak di Ponorogo Tinggi, Ini Penjelasan Dosen Unair
Petugas KUA sedang mempersiapan acara pernikahan(dok.Ant)

PENGADILAN Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mencatat pada tahun 2022 terdapat 198 permohonan pengajuan dispensasi kawin usia anak. Pengajuan dispensasi pernikahan tersebut didominasi oleh kejadian hamil di luar nikah.

Dosen bidang kependudukan dan kesehatan reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Lutfi Agus mengatakan bahwa saat ini angka perkawinan anak di Indonesia masih tergolong tinggi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) RI tahun 2020 menyebutkan bahwa 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun, yaitu sebesar 1,2 juta jiwa.

“Jika dilihat berdasarkan angka absolut kejadian perkawinan usia anaknya, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi yang paling tinggi,” ungkap Lutfi yang juga Ketua Koalisi Kependudukan, Provinsi Jawa Timur, dalam keterangannya, Selasa (17/1).

Lutfi menjelaskan, perkawinan anak terjadi bisa disebabkan oleh empat faktor utama. Di antaranya faktor pendidikan, pemahaman agama yang sempit, ekonomi, dan sosial budaya.

Baca Juga: Fenomena Pernikahan Dini, PB PGRI: Pendidikan Sudah Berikan ...

Menurutnya, kenaikan angka perkawinan anak di Ponorogo bisa saja disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Remaja mencoba melakukan aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya, sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan akhirnya terpaksa terjadi pernikahan anak.

Lantas, perkawinan anak tersebut cenderung lebih berdampak pada pihak perempuan. Secara umum, dampak yang timbul antara lain dampak pendidikan, ekonomi, psikologi, dan kesehatan. Terlebih jika melihat kasus yang ada di Ponorogo yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan tentu akan berdampak pada segi kesehatan.

“Menikah muda berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak, berisiko kelahiran prematur, anak yang dilahirkan stunting, dan bisa membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian. Perkawinan anak juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan seksual dan gangguan kesehatan reproduksi,” jelas Lutfi.

Untuk itu, lanjutnya, upaya pencegahan perlu dilakukan lewat penegakan UU Nomor 16 tahun 2019 tentang batasan usia minimum pernikahan, yaitu 19 tahun dengan tindakan serius seperti penyediaan akses yang sama ke pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas untuk anak perempuan dan laki-laki terutama dalam membahas edukasi seks sejak dini.

“Pemberdayaan anak perempuan secara komprehensif melalui sumber daya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Termasuk dengan memungkinkan penyediaan informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” tandasnya. (OL-13)

Baca Juga: Ratusan Pelajar di Ponogoro Hamil di Luar Nikah Jadi Tanda ...

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat